Feel Free To Read It

Kami Datang... Belajar... Dan Melayani
We Came... Learn.. And Serve

Jumat, 17 Desember 2010

TUHAN, Gadis, dan 57 Cent

Apa yang dapat diperbuat oleh Tuhan dengan 57 Cents ?
Seorang anak gadis kecil sedang berdiri terisak didekat pintu masuk sebuah gereja yang tidak terlalu besar, ia baru saja tidak diperkenankan masuk ke gereja tersebut karena “sudah terlalu penuh”. Seorang pastur lewat didekatnya dan menanyakan kenapa si gadis kecil itu menangis, “Saya tidak dapat ke Sekolah Minggu” kata si gadis kecil.
Melihat penampilan gadis kecil itu yang acak acakan dan tidak terurus, sang pastur segera mengerti dan bisa menduga sebabnya si gadis kecil tadi tidak disambut masuk ke Sekolah Minggu. Segera dituntunnya si gadis kecil itu masuk ke ruangan Sekolah Minggu di dalam gereja dan ia mencarikan tempat duduk yang masih kosong untuk si gadis kecil.
Sang gadis kecil ini begitu mendalam tergugah perasaan nya, sehingga pada waktu sebelum tidur di malam itu, ia sempat memikirkan anak-anak lain yang senasib dengan dirinya yang seolah olah tidak mempunyai tempat untuk memuliakan Jesus.
Ketika ia menceritakan hal ini kepada orang tuanya, yang kebetulan merupakan orang tak berpunya, sang ibu menghiburnya bahwa si gadis masih beruntung mendapatkan pertolongan dari seorang pastur. Sejak saat itu, si gadis kecil
“berkawan” dengan sang pastur. Dua tahun kemudian, si gadis kecil meninggal di tempat tinggalnya didaerah kumuh,dan sang orang tuanya meminta bantuan dari si pastur yang baik hati untuk prosesi pemakaman yang sangat sangat sederhana. Saat pemakaman selesai dan ruang tidur si gadis di rapihkan, sebuah dompet usang, kumal dan sobek sobek ditemukan, tampak sekali bahwa dompet itu adalah dompet yang mungkin ditemukan oleh si gadis kecil dari tempat sampah.
Didalamnya ditemukan uang receh sejumlah 57 cents dan secarik kertas bertuliskan tangan, yang jelas kelihatan ditulis oleh seorang anak kecil yang isinya: “Uang ini untuk membantu pembangunan gereja kecil agar gereja tersebut
bisa diperluas sehingga lebih banyak anak anak bisa menghadiri ke Sekolah Minggu”
Rupanya selama 2 tahun, sejak ia tidak dapat masuk ke gereja itu, si gadis kecil ini mengumpulkan dan menabungkan uangnya sampai terkumpul sejumlah 57 cents untuk maksud yang sangat mulia.
Ketika sang pastur membaca catatan kecil ini, matanya sembab dan ia sadar apa yang harus diperbuatnya. Dengan berbekal dompet tua dan catatan kecil ini, sang pastur segera memotivasi para pengurus dan jemaat gerejanya untuk meneruskan maksud mulia si gadis kecil ini untuk memperbesar bangunan gereja.
Namun Ceritanya tidak berakhir sampai disini. Suatu perusahaan koran yang besar mengetahui berita ini dan mempublikasikannya terus-menerus. Sampai akhirnya seorang Pengembang membaca berita ini dan ia segera
menawarkan suatu lokasi yang berada didekat gereja kecil itu dengan harga 57 cents, setelah para pengurus gereja menyatakan bahwa mereka tak mungkin sanggup membayar lokasi sebesar dan sebaik itu.
Para anggota jemaat pun dengan sukarela memberikan donasi dan melakukan pemberitaan, akhirnya bola salju yang dimulai oleh sang gadis kecil ini bergulir dan dalam 5 tahun, berhasil mengumpulkan dana sebesar 250.000 dollar, suatu jumlah yang fantastik pada saat itu (pada pergantian abad, jumlah ini dapat membeli emas seberat 1 ton).
Inilah hasil nyata cinta kasih dari seorang gadis kecil yang miskin, kurang terawat dan kurang makan,namun perduli pada sesama yang menderita. Tanpa pamrih, tanpa pretensi.
Saat ini,jika anda berada di Philadelphia, lihatlah Temple Baptist Church, dengan kapasitas duduk untuk 3300 orang dan Temple University, tempat beribu-ribu murid belajar. Lihat juga Good Samaritan Hospital dan sebuah bangunan special untuk Sekolah Minggu yang lengkap dengan beratus ratus (yah, beratus ratus) pengajarnya, semuanya itu untuk memastikan jangan sampai ada satu anakpun yang tidak mendapat tempat di Sekolah MInggu.
Didalam salah satu ruangan bangunan ini, tampak terlihat foto si gadis kecil, yang dengan tabungannya sebesar 57 cents, namun dikumpulkan berdasarkan rasa cinta kasih sesama yang telah membuat sejarah. Tampak pula berjajar rapih foto sang pastur yang baik hati yang telah mengulurkan tangan kepada si gadis keci miskin itu, yaitu pastor DR.Russel H.Conwell penulis buku “Acres of Diamonds” — a true story.
Kenyataan sejarah yang collosal ini bisa memberikan petunjuk kepada kita semua apa yang dapat DIA lakukan terhadap uang 57 cents.

Kamis, 16 Desember 2010

Kisah Tjong A Fie


Bila di Jawa kita mengenal Oei tiong ham. maka di sumatra juga punya kisah tragis yang lebih menyentuh bak telenovela namun ini
adalah kisah nyata. Tahun 2010 ini, rencananya kisan tjong a fie akan menjadi buku seri biografi sejarah saya yang ke dua setelah oei hui lan. sebelum membaca kisahnya lebih lengkap, ada baiknya anda membaca sedikit kisah ini. Sebuah pelajaran penting memaknai arti sebuah kekayaan yang bernilai tentang berbagi namun takdir bisa mengubah segalanya.
Tahun 1981, Queeny Chang, Putri Tjong A Fie, menerbitkan buku riwayat hidupnya. Tentu saja ia banyak bercerita perihal ayahnya, seorang hartawan yang masih diingat masyarakat luas di Sumatera Utara dan Semenanjung Tanah Melayu sampai kini. Menurut H. Yunus Jahja, semasa kanak-kanak di Medan ustad kenamaan K.H. Yunan Helmy Nasution belajar mengaji di salah satu mesjid sumbangan Tjong A Fie yang juga mendirikan berbagai kuil, gereja dan sekolah.
Pada tahun baru Imlek 1902, ayah mengadakan resepsi tahun baru di rumah kami. Saat itu saya berumur 6 tahun. Ibu memakaikan saya sarung kebaya. Rambut saya yang botak di beberapa tempat akibat baru sembuh dari tifus, disanggul dan diberi beberapa tusuk sanggul berhiaskan intan. Berlainan dengan ibu, saya tidak cantik. Wajah saya pucat dan persegi. Mata saya sayu, bulu mata saya jarang dan alis mata saya tipis berantakan.
Ibu saya mengenakan kebaya dan songket. Rambut ibu yang hitam berkilat dihiasi sederet tusuk sanggul intan dan sekuntum bunga dari intan pula. Pada kebayanya disematkan kerongsang, yaitu bros yang terdiri atas tiga bagian. Yang paling atas berbentuk merak sedang mengembangkan ekornya. Dua yang lebih kecil bentuknya bulat. Perhiasan bertatah intan itu sedang mode di kalangan perempuan di Penang dan Medan.
Dalam resepsi itu, ibu berdiri di sampin ayah. Sikapnya sangat anggun di antara tamu-tamunya yang terdiri atas orang orang terkemuka pelbagai bangsa. Ia sadar akan kedudukan ayah sebagai pemuka golongan cina dan bertekad tidak akan memalukannya. Kalau bercakap-cakap dengan orang asing, ibu berbahasa Melayu dengan fasihnya.
Ayah memegang sebelah tangan saya saat mengucapkan terima kasih kepada para tamu yang memberi selamat. Residen Belanda yang mengangkat saya tinggi-tinggi dan mencium kedua belah pipi saya. Permaisuri Sultan menggendong saya. Mereka tahu ayah sangat mencintai saya dan akan membatalkan resepsi ini kalau saya belum sembuh.
Walaupun ayah memangku jabatan sebagai Luitenant der Chinezen, tetapi sebenarnya ia tidak pernah mendapat pendidikan formal. Begitu juga paman saya, Tjong Yong Hian, yang menjadi kapitein der Chinezen.

Kulit Coklat Membawa Rezeki

Ayah saya meninggalkan toko kelontong ayahnya di daratan Cina, ketika ia berusia 18 tahun. Ia menyusul kakaknya, Yong Hian, ke Sumatra. Bekalnya Cuma 10 dolar perak uang Manchu yang dijahitkan ke ikat pinggangnya. Tahun 1880 setelah berlayar berbulan bulan dengan Jung, ia tiba di Labuhan, kota kecil di pantai timur Sumatra. Didapatinya kakaknya sudah menjadi pemuka golongan cina dengan pangkat Luitenant.
Paman mencarikan pekerjaan bagi ayah. Ayah bekerja di toko kelontong Tjong Sui Fo. Pemilik toko itu tertarik pada ayah memberi kesan jujur dan berani. Apalagi karena ia percaya bahwa orang yang kulitnya kecoklatan seperti ayah saya memiliki rezeki besar.
Ayah bekerja serabutan mengurusi pembukuan, melayani para pelanggan di toko, menagih rekening dan melakukan tugas tugas lain. Majikannya puas, karena uangnya tidak tekor sesen pun. Lagipula para pelanggan yang biasanya sulit membayar, bisa dibujuk ayah untuk melunasi utang-utangnya.
Ayah saya pandai bergaul, dengan orang Melayu, Arab, India maupun dengan orang Belanda yang menjajah negeri ini. Ia belajar berbahasa Melayu, yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan masyarakat pelbagai bangsa di kawasan ini.
Tjong Sui Fo merupakan pemasok barang untuk penjara setempat. Ayah sering mengantarkan barang ke sana dan sempat mendengarkan keluhan para tahanan. Banyak orang Cina ditahan bukan karena melakukan kejahatan, tetapi karena bergabung dalam Serikat Rahasia (Triad). Ayah bersimpati kepada mereka, tetapi ia mencoba menjelaskan bahwa keanggotaan dalam perserikatan itu dilarang oleh hukum.
Lama kelamaan ia mendapat kepercayaan dari berbagai pihak dan disegani di Labuhan. Masyarakat Cina meminta kepada penguasa Belanda agar mengangkat ayah menjadi Wijkmeester (bek, kepala distrik) bagi orang orang Cina. Permintaan ini dikabulkan. Ayah pun berhenti dari Tjong Sui Fo, tetapi tidak pernah melupakan budi mantan majikannya.
Ayah berkantor di Medan. Kantornya ini sebuah bangunan kayu beratap rumbia. Masa itu ayah sudah menikah dengan putri keluarga Chew, suatu keluarga yang terkemuka di Penang dan merupakan pionir pula seperti ayah. Ketika mereka sudah mempunyai tiga orang anak, isterinya yang baru berumur 32 tahun meninggal. Sebagai duda berumur 35 tahun, ayah menikah lagi. Sekali ini dengan seorang gadis berumur 16 tahun, ibu saya.
Terkenal Galak
Ibu saya, Lim Koei Yap, dilahirkan tahun 1880 di Binjai dan tidak pernah bersekolah. Ia tinggal di perkebunan tembakau karena ayahnya kepala manddor di Sungai Mencirim, salah sebuah perkebunan di Deli. Kakek saya memimpin ratusan kuli kontrak, kebanyakan Cina perantauan.
Nenek saya keras dan kolot. Ia menganggap seorang gadis hanya perlu belajar memasak dan mebuat kue, sebab tempat perempuan katanya di dapur. Ibu saya berjiwa pemberontak. Ia sering merasa dirinya lebih pandai daripada saudara saudarnya yang laki-laki Kalau sedang bertengkar, ia sering berkata ,“Lihat saja nanti, saya pasti akan melebihi kalian semua!“ Saudara-saudaranya biasa menjawab ,“ Kamu kira siapa sih kamu ? Istri Tjong A Fie?“ Tidak seorang pun menyangka hal itu akan menjadi kenyataan.
Ibu mencapai umur untuk menikah tanpa pernah dilamar orang. Namun suatu hari kakek didatangi salah seorang comblang dari Medan. Ibu saya dilamar Tjong A Fie.
Kakek merasa sungguh-sungguh mendapat kehormatan, tetapi ia was-was. Perbedaan umur antara Tjong A Fie dan putrinya terlalu besar. Namun di Pihak lain ia ingin cepat-cepat menikahkan putrinya yang terkenal galak ini. Ia sangsi kesempatan baik ini akan terulang.
Ayah mengaku mempunyai seorang istri di daratan Cina, isteri pilihan orangtuanya yang tdiak bisa ia ceraikan, dan yang kini merawat ibunya yang sudah tua, sehingga tidak bisa menyertainya ke Sumatra. Ayah juga mengaku baru kematian istrinya yang lain, yang meninggalkan tiga orang anak, yang seorang anak laki laki berumur 15 tahun dan dua anak perempuan berumur 12 dan 11 tahun. Ibu menghargai kejujuran ayah dan mau menerima lamaran ayah, asal ayah berjanji tidak akan beristri lain. Ayah menerima syarat itu.
Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah naik pangkat sehingga ibu dianggap membawa rezeki. Saya lahir dua belas bulan setelah mereka menikah dan mendapat nama Fuk Yin. Kemudian saya ditinggalkan bersama seorang pengasuh karena ayah membawa ibu ke daratan Cina untuk dipertemukan dengan nenek di Desa Sungkow.
Menurut ibu, ia dimanjakan mertuanya, yang menyebutnya menantu saya yang di perantauan. Dengan sebutan ini nenek ingin menjelaskan bahwa tempat ibu saya adalah di samping ayah saya, sedangkan ibu Lee, yaitu isteri ayah yang di Sungkow, bertugas merawat rumah ayah di sanan dan mengawasi sawah. Nenek yang autokratik tahu bagaimana cara membuat dua menantu berdamai di bawah satu atap. Masing-masing diberi penjelasan bahwa tugas mereka sama pentingnya. Ibu Lee bangga dan puas karena dipercaya mengurus harta suaminya.
Ibu yang Galak dan Memeh yang Manis.
Setelah saya mempunyai seorang adik laki-laik, Fa Liong kami pindah ke rumah baru (kini rumah no. 105 di Jl. Jenderal A. Yani, Medan). Di mata saya rumah itu rasanya besar dan bagus sekali. Dalam upacara pindah rumah, ibu menggendong Fa Liong sedangkan saya dibimbing seorang perempuan jangkung berpakaian gaya Cina. Saya tidak tahu siapa dia.
Karena saya tidak bisa diam, ibu melotot dan menjewer saya. Sebaliknya perempuan berpakaian cina itu manis sekali terhadap saya. Ibu menyuruh saya memanggilnya Memeh (Ibu). Saya juga disuruh memanggil kakak kepada seorang pemuda berusia 19 tahun yang baik sekali kepada saya dan kepada dua orang gadis.
Perempuan dan ketiga orang yang saya panggil kakak itu tinggal di rumah kami. Saya pikir, mereka kerabat kami yang baru datang dari Cina dan belum mempunyai rumah sendiri. Kami biasa makan bersama sama. Memeh selalu memilih daging ayam yang paling empuk untuk ditaruh di mangkuk nasi saya. Kadang-kadang saya tidru dengannya dan mendengarkan dongengannya. Memeh dan ibu selalu tampak bercakap-cakap dengan gembira. Saya berharap Memeh dan ketiga kaka tinggal selamanya dengan kami, karena saya merasa berbahagia bersama mereka.
Saya tidak tahu berapa lama saya hidup berbahagia seperti itu. Mungkin setahun,mungkin beberapa bulan. Tahu-tahu suatu malam saya terbangun karena mendengar ibu dan Memeh berteriak-teriak marah. Saya dengar ibu mengancam Memeh,“Kalau kamu berani mendekat, kamu akan berkenalan dengan pisauku.“
Kemudian ibu masuk ke kamar saya. Ia memakaikan mantel pada saya, lalu diangkatnya adik dari tempat tidur. Diseretnya saya ke luar dari pintu belakang, menuju jalan yang sudah sepi. Ketika saya menangis, ibu menampar saya. Kebetulan di muka rumah kami lewat kereta yang dihela oleh kuda. Dengan kendaraan itu kami pergi ke tengah perkebunan tembakau. Kereta dihentikan di sebuah rumah kayu beratap rumbia yang diterangi lampu minyak. Ternyata itu rumah kakek dan nenek. Ibu minggat dari rumah !
Ibu tidak mau menjumpai ayah dan tidak mau pulang, sehingga kakek dan nenek kewalahan. Kakek meminta ayah membiarkan ibu sampai marahnya reda. Beberapa bulan kemudian, kami dijemput ayah dengan kereta terbuka yang dihela kuda putih. Saat menjemput kami itu ayah mengenakan seragam upacara Luitenant der Chinezen, seperti yang biasa dipakainya kalau diundang ke tempat residen atau sultan. Tiba di rumah, saya tidak menemukan Memeh maupun ketiga kakak. Mereka sudah pergi. Ibu menuntut mereka dipulangkan ke Sungkow. Saya baru tahu bahwa Memeh adalah ibu Lee, istri ayah dari daratan Cina, sedangkan ketiga kakak adalah anak-anak almarhumah Ibu Chew. Saya tidak pernah lagi melihat memeh dan kakak saya yang laki-laki tetapi kedua kakak perempuan saya kemudian kembali dalam kehidupan saya.
Ibu Belajar menulis dan membaca.
Ketika umur saya tujuh tahun, saya mendapat izin khusus dari residen untuk belajar di seklah anak-anak belanda. Sebelumnya ibu meminta saran dan kenalannya, isteri seorang hakim Belanda, perihal pakaian apa yang sepatutnya saya kenakan ke sekolah. Saya mendapat celana dalam sepanjang lutut yang dihiasi renda. Rok dalam katun yang dihiasi pula dan rok terusan sepanjang lutut dan berlengan pendek. Rasanya aneh sekali, karena sangat berbeda dengan pakaian anak cina dan anak pribumi, yang selam ini biasa saya kenakan.
Hari pertama, saya diantar ayah ke sekolah. Saya tidak bisa berbahasa Belanda sepatah pun, tetapi karena umur saya sudah tujuh tahun, saya diterima langsung ke kelas dua. Supaya bisa mengikuti pelajaran, saya disarankan mendapat pelajaran tambahan. Saat saya les di rumah, ibu selalu mengawasi saya dengan cermat dan galak, sambil mengunyah sirih.
Ibu selalu menjaga agar dandanan saya rapi setiap pergi ke sekolah. Pita di rambut saya selalu rapi disetrika. Kalau ada pesta, pakaian saya selalu yang paling indah. Ibu ingin saya merasa tidak lebih rendah daripada gadis-gadis Belanda. Ia tidak perlu kuatir, sebab saya mudah bergaul dan segera dianggap sebagai salah seorang dari mereka.
Ibu bukan cuma memaksa saya belajar, tetapi ia sendiri juga belajar bercakap cakap dalam bahasa Belanda dari seorang guru perempuan. Ia bahkan belajar menulis. Mula-mula bacaannya cuma dongeng-dongeng, tetapi kemudian ia giat membaca tulisan tulisan yang lebih rumit, seperti etiket pergaulan. Ia ingin bisa berbicara dan bersikap seanggun wanita-wanita asing.
Rupanya ia berbakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia pantas bersarung kebaya yang menyempatkan ia mengenakan perhiasan-perhiasannya, tetapi dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri wanita-wanita Eropa, ia mengenakan rok. Seleranya baik. Ia tidak pernah tampak terlalu mencolok. Tidak ada yang menyangka tadinya ia gadis dusun.
Ketika saya belajar bermain piano dari Maestro Paci, ia belajar menyanyi dari Ny. Paci, seorang penyanyi profesional. Dalam pertemuan-pertemuan akrab di rumah kami, kadang-kadang ibu bernyanyi. Sayang ia berhenti belajar ketika suami isteri Paci meninggalkan Mean.
Ketika saya berumur 10 tahun kami mendapat kabar kalau Memeh meninggal. Seminggu setelah itu kakak saya yang laki-laki pun meninggal karena TBC. Padahal ia baru setahun menikah dan meninggalkan seorang bayi laki-laki. Ibu menyuruh saya dan Fa Liong berkabung untuk Memeh. Setahun lamanya saya hanya mengenakan pakaian putih dan biru. Rambut saya diberi pita biru dan kuncir adik saya diikat dengan benang biru.
Tidak lama setelah kematian kakak, ibu melahirkan seorang bayi laki-laki lagi, Kian Liong yang diterima ayah dengan linangan air mata. Hadiah-hadiah mengalir dari para pedagang Cina, berupa perhiasan emas berbentuk naga, singa, unicorn, kalung, gelang kaki yang digantungi bel bel kecil. Sulthan menghadiahkan model miniatur istananya yang ditaruh di kotak kaca. Kursi, meja, pepohonan dan bunga-bunga miniatur pada model itu dihiasi intan kasar. Sementara orang-orang Eropa memberi perlengkapan piring mangkuk perak dengan sendok garpunya, sedangkan orang-orang Arab dan India memberi perhiasan emas gaya mereka sendiri.
Bertemu Belanda “Butut”
Mobil kami yang pertama adalah sebuah Fiat convertible. Kami menyebutnya motor kuning karena warnanya kuning. Saya tidak tahu betapa kayanya ayah, sampai suatu hari ia memberitahu ibu bahwa ia membeli perkebunan karet Si Bulan. Administraturnya seorang Belanda, Meneer Kamerlingh Onnes. Tadinya pria Belanda itu pembuat onar dalam keluarganya, yaitu keluarga terkemuka dan terhormat di negerinya. Ia dikirim ke Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan, tetapi berkali-kali dipecat.
Ayah menemukannya sedang duduk melamun menghadapi gelas kosong di hotel Medan. Belum pernah ayah melihat seorang kulit putih berpakaian compang camping dan bersepatu butut seperti itu, sehingga ayah ingin tahu siapa dia dan mengapa bisa sampai begitu. Setelah mendengar ceritanya, ayah terkesan oleh kejujurannya dan menawarkan pekerjaan sebagai administratur perkebunan. Tidak pernah kedua orang itu merasa menyesal.
Ketika usaha ayah di bidang perkebunan maju, Meneer Kammerlingh Onnes diserahi menjadi kepala pengawas semua perkebunan itu: Perkebunan karet, kelapa , teh. Ayah merupakan orang Cina pertama yang memiliki perkebunan-perkebunan karet di daerah ini dan yang pertama pula memperkerjakan orang-orang Eropa.

Keturunan Pesilat dan Bajak Laut

Paman saya Tjong Yong Hian dan ayah mendirikan sekolah dan rumah sakit tempat orang-orang yang kurang mampu bisa mendapatkan perawatan gratis. Mereka menyumbang kelenteng-kelenteng, gereja-gereja, mesjid-mesjid, maupun kuil-kuil Hindu. Mereka pun mengirimkan sumbangan ke daratan Cina untuk korban paceklik dan banjir. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak petani di desa kelahiran mereka. Mereka membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan dan bahkan membuka perusahaan kereta api Chao Chow dan Swatow dekat tepat kelahiran mereka, sehingga paman yang lebih ambisius mendapat gelar kehormatan Menteri Perkeretaapian dari pemerintah Mancu dan diterima beraudiensi oleh Kaisar Janda Cixi. Kalau ia naik tandu ke desanya, di depan tandunya selalu ada pembuka jalan yang menabuh gong dan pendudukpun berlutut di tepi jalan.
Namun paman meninggal tidak lama kemudian. Ayah menggantikannya menjadi Kapitein der Chinezen. Ketika itu saya sudah lulus SD dan mendapat tambahan adik laki-laki lagi, Kwet Liong. Ayah mengusahakan agar kakek saya dari pihak ibu menjadi Luitenant der Chinezen di kota minyak Pangkalan Brandan. Pengangkatan ini pasti dipergunjingkan orang, tetapi ayah merasa ia mempunya alasan. Untuk menguasai orang-orang Cina di tempat itu diperlukan orang kuat. Mereka kebanyakan Hai Lok Hong yaitu keturunan para pesilat dan bajak laut, sedangkan kakek saya sendiri seorang Hai Lok Hong. Akhirnya, semua orang puas dengan pilihan ayah.

Dijodohkan

Ayah saya menyediakan tanah untuk sekolah Metodis di Medan, yang diurus keluarga Pykerts. Keluarga ini sendiri tinggal di Penang. Kalau sedang berada di Medan, mereka tinggal di rumah peristirahatan milik ayah di Pulu Branyan. Di Tempat ini ayah mempunyai kebun binatang. Kami bukan hanya memelihara burung seperti kakaktua atau kasuari, tetapi juga ular, jerapah, zebra, kangguru dan keledai kelabu.
Kemudian keluarga Pyketts mengundang kami ke Penang. Ibu memenuhi undangan itu dengan mengajak Fa Liong, Jambul (Kian Liong) dan saya.
Dalam salah satu perjamuan yang diadakan keluarga Pyketts di Penang ini , kami berjumpa dengan seorang wanita cantik yang sangat fasih berbahasa Inggris. Ternyata ia Ny. Sun Yat Sen yang singgah dalam perjalanan ke Cina. Sun Yat Sen adalah presiden pertama Republik Cina. Ia dipuja oleh Cina Komunis maupun Nasionalis.
Pernah orangtua saya berniat menyekolahkan saya ke Belanda. Namun setelah saya lulus dari SD, hal itu tidak pernah disebut sebut lagi. Saya malah disuruh belajar memasak dan menjahit, dua hal yang tidak mampu saya lakukan dengan baik sehingga saya terus menerus dimarahi ibu.
Suatu malam, kakak saya berlainan ibu, Song Yin memberitahu saya bahwa saya sudah dipertunangkan dengan seorang pria dari daratan Cina.
“Apa? Dipertunangkan?” tanya saya. “Ibu tidak memberitahu saya. Saya akan dinikahkan dan pergi ke Cina?” Malam itu Song Yin mengajak saya ke kamar ayah kami. Dari lemari ia mengeluarkan sehelai foto yang memperlihatkan seorang pemuda Cina dalam pakaian tradisional dan berkopiah. Wajahnya tampan, tetapi pakaian itu membuat ia tampak tidak menarik bagi saya. Song Yin membuka lipatan sebuah saputangan sutra merah dan didalamnya terlihat sepasang gelang emas berukuir aksara Cina.
Ini calon suamimu dan gelang emas ini tanda pertunangan. Paman kita yang mengatur pernikahan ini tiga tahun yang lalu, ketika kamu baru berusia 13 tahun,” katanya, ayah kami harus menurut kata-kata kakaknya dan janji yang sudah dibuat tidak boleh diingkari.
“Mengapa bukan kakak Fo Yin saja yang dijodohkan dengannya?” tanya saya. Fo Yin adalah anak angkat paman. “Fo Yin lebih tua,”jawab Song Yin. Ia membujuk saya,”Jangan sedih, Dik. Kamu akan menjadi menantu orang yang sangat kaya dan sangat dihormati.
Lebih Suka Main boneka daripada Menjadi Pengantin.
Congafie6
Saya mulai belajar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dari Mrs. Smith, seorang perempuan Australia dan melanjutkan belajar memainkan piano. Ternyata keluarga calon suami saya, keluarga Lim, ingin pernikahan kami tidak ditunda-tunda lagi. Menurut peramal tanggal tiga bulan sepuluh pada tahun tikus (1912) merupakan tanggal dan tahun baik.
Teman saya, Minnie rahder, putri residen, terpesona melihat kamar pengantin yang dipersiapkan untuk saya. “ Kau gadis yang bahagia,” katanya. Padahal saya lebih menghargai kiriman boneka dari Sinterklas yang matanya bisa dipejam dan terbuka.
Orangtua saya menyediakan bekal pernikahan yang berharga, sebab anak perempuan yang tidak dibekali secukupnya akan dhina oleh keluarga suaminya.
Calon pengantin pria tiba diiringi 12 pengantar yang terdiri atas pamannya, seorang governess (guru pribadi)Amerika, seorang sekretaris berkebangsaan Eropa, seorang sekretaris Cina, empat pelayan, seorang koki dan seorang budak perempuan untuk melayani governess. Mereka ditempatakan di Pulu Branyan yang akan menjadi kediaman sementara kami sebelum berangkat ke Cina.
Fa Liong yang saat itu berumur dua belas, ikut ayah menjemput mereka. Ketika kembali, ia berkata kepada saya,“Kak, calon suami kakak sama tingginya dengan saya. Pasti ia cuma sepundak kakak.“
“Bohong! Dia kan sudah berumur dua puluh,” kata saya.
“Masa bodoh kalau tidak percaya. Pokoknya, dia pendek,” saya jadi kuatir. Ganjil betul kalau pengantin perempuan jauh lebih tinggi daripada suaminya.
Saya dengar ibu bercerita kepada bibi bahwa paman calon pengantin pria mengatakan: pelayan pelayan yang dibawa oleh pengantin perempuan langsung dianggap selir pengantin pria. Tentu saja ibu saya protes. Anak saya dilahirkan di negara yang diperintah oleh seorang ratu dan kami disini hanya boleh punya satu istri !” Konon paman pengantin pria tidak tersenyum mendengar protes ibu. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ibu tidak jadi membawakan dua pelayan perempuan bagi saya, padahal mereka sudah didatangkan dari desa ayah.
Terakhir Kali main Kuda-kudaan.
Malam sebelum hari pernikahan saya, Fa Liong mengajak saya bermain kuda kudaan, seperti sering kami lakukan kalau ibu sedang tidak berada di rumah. Saya memasang tali kendali di bahu Fa Liong, lalu ia berlari dan saya mengikutinya sambil memegang kendali dan cambuk mainan. Sementara itu kami berteriak-teriak sambil saya mengejarnya di kebun dan di dalam rumah.
Pesta pernikahan saya dihadiri antara lain oleh Sulthan dan residen. Lalu tibalah saatnya saya dibiarkan berduaan saja dengan suami saya. Saya merasa canggung. Saya hanya bisa berbahasa Hakka bercampur melayu. Suami saya hanya bisa berbahasa Hokkian. Berkat Mrs. Grey, governess suami saya, bahasa Inggris saya maju pesat selama kami berada di P. Branyan. Sebenarnya suami saya lebih suka kalau saya belajar berbahasa Hokkian,sebab ibunya hanya paham bahasa itu.
Sebulan kemudian kami melakukan kunjungan perpisahan, antara lain pada Sulthan Deli yang memanggil saya,”Putriku”, Permaisuri mendekap saya, seakan-akan saya mash gadis kecil yang dulu sering bermain ke istananya. Sultan dan permaisurinya menjamu kami. Sejak kecil saya sering datang ke istanan, sehingga saya tidak merasa asing di sana. Tidak demikian dengan Mrs. Grey, governess suami saya yang terkesan sekali melihat perhiasan yang dikenakan sultan dan keluarganya. Akhirnya, tibalah saatnya untuk meninggalkan ayah, ibu , adik-adik dan semua yang saya kenal.
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak
keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan
pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata
orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot-“

menantu barbar
Ketika kami turun dari kapal di Amoy, banyak sekali orang menyambut. Bunyi petasan memekakkan telinga. Saya diapit oleh empat penyambut perempuan yang berpakaian indah. Dalam Congafie1_1perjalanan berulang-ulang mereka mengucapkan sesuatu yang tidak dipahami. Ternyata saya diminta berjalan perlahan-lahan. Akhirnya saya sadar bahwa kaki mreka kecil karena diikat, sehingga tidak bisa berjalan dengan leluasa.
Saat akan naik ke dalam tandu kepala saya terantuk atapnya. Maklum saya belum pernah naik benda yang diusung manusia itu. Saya dibawa ke sebuah bangunan bergaya Barat untuk menghadap mertua saya. Mertua perempuan saya cantik. Sesudah upacara penghormatan selesai, mertua laki-laki saya bangkit diikuti mertua perempuan dan kami. Kami mesti menurun tangga. Karena melihat kaki ibu mertua saya kecil, saya khawatir ia terjatuh. Secara spontan saya bimbing lengannya Terdengarlah suara terkejut dari kaum perempuan yang menyaksikan adegan ini. Saya tidak mengerti apa yang mereka katakan jadi saya tetap saja membimbing lengan ibu mertua saya. Ternyata tindakan saya itu dianggap menyalahi tatacara. Mestinya mertua yang menuntun menantu, bukan menantu yang menuntun mertua. Akibatnya, saya disebut barbar.
Ternyata mertua laki laki saya sangat kaya. Ia memiliki enam selir yang melayani pelbagai kebutuhannya.
Perempuan yang Mencurigakan
Pada saat suami saya masih orang asing bagi saya, saya harus hidup dalam lingkungan yang bahasa, kebiasaan dan orang-orangnya tidak saya kenal. Untunglah ibu mertua saya termasuk salah seorang yang paling manis dan paling agung yang pernah saya jumpai dalam hidup ini.
Suatu hari kakak perempuannya datang dari desa. “Menantumu jauh dari cantik, “Kakinya menyeramkan besarnya. Apa betul ia seorang putri barbar ?” Konsepsinya mengenai kecantikan ialah kerempeng seperti pohon Yangliu (Willow), kaki Cuma 7,5 cm panjangnya dan bentuk wajah eperti kuaci. Saya tidak memiliki semuanya.
Mertua saya menanggapi, “Tidak perduli bagaimanapun rupanya dan siapa da, dialah perempuan yang kuhendaki menjadi isteri putraku.”
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot-“
Pada hari tahun baru, saya satu-satunya orang yang mengenakan pakaian gaya Eropa. Saya merasa canggung, tetapi Mrs. Grey memuji saya dan berkata saya seperti ratu. Sejak hari itu ia memanggil saya Queeny, yang sepadan dengan nama suami saya , King Jin yang selalu dipanggil King.
Pada tahun baru kedua di tempat yang jauh dari orangtua saya ini, saya melihat seorang perempuan muda di antara kami, yang melirik kepada saya seakan akan mengejek. Ia cantik dan kelihatannya tidak asing di rumah itu. Setelah menemui ibu mertua saya, ia masuk ke ruang tempat suami saya main mahyong dengan adiknya dan adik ibu mertua saya. Saya melihat perempuan itu berdiri di belakang kursi suami saya dengan tangan diletakkan di pundah suami saya.
Saya bertanya kepada seorang pelayan tua,”Mui-ah , siapa sih perempuan muda berpakaian sutera biru itu ?”
“Oh, itu !” jawah Mui-ah dengan sikap jijik. “Tadinya dia pelayan Nyonya besar.” Kata Mui-ah yang polos itu, perempuan itu pernah mempunyai hubungan asmara dengan suami saya sebelum pernikahan kami. Ia ingin dijadikan selir, tetapi ibu mertua saya memulangkannya ke desa.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya harus mengendalikan diri. Saya merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam diri saya. Sakit seperti itu belum pernah saya rasakan. Padahal saya tidak mempunyai seorang pun untuk mencurahkan isi hati. Ketika itu saya sedang mengandung.
Ketika hal itu saya tanyakan kepada suami saya, ia menjawab acuh tak acuh,“Semuanya kann sudah lewat. Sekarang ia sudah menikah,“ Luka itu meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang dari hati saya.
Saya melahirkan seorang bayi laki-laki, Tong tahun 1914. Ayah mertua saya bangga karena pada hari ulangtahunnya yang ke-40 ia sudah mempunyai cucu.
Bertemu calon Raja Karet.
Di Masa yang lalu, anak perempuan yang sudah menikah tidak boleh berkunjung ke rumah orangtuanya, kecuali kalau diundang. Setelah kelahiran Tong, ayah menulis surat kepada besannya, untuk mengundang suami saya dan saya serta bayi kami ke rumahnya di Medan. Mertua saya memberi izin dengan syarat Tong ditinggalkan pada mereka.
Kami pun berlayar ke selatan. Di Pelabuhan, kami dijemput dengan gerbong kereta api milik sultan pribadi. Kendaraan itu pula yang mengantarkan kami pergi dua tahun sebelumnya. Di Medan, masyarakat Hakka dan Hokkian bersama sama menjemput kami, karena ayah mertua saya adalah tokoh masyarakat Hokkian di Cina.
Ketika saya berangkat ke Amoy, tubuh saya termasuk montok Kini saya kembali ke Medan dalam keadaan langsing. Satu setengah bulan berlalu dengan cepat dan saya pun harus kembali ke rumah mertua.
Menjelang musim gugur, kesehatan suami saya mundur. Diperkirakan iklim tropis baik baginya. Jadi kami diperbolehkan pergi ke Medan lagi, asal Tong ditinggalkan di Amoy. Tentu saja ayah senang menerima kami.
Di Kapal, kami berkenalan dengan seseorang bernama Lee Kong Chian yang kami undang untuk berkunjung ke tempat ayah. Suami saya mengajaknya berkeliling meninjau perusahaan-perusahaan ayah, di antaranya ke perkebunan dan ke Deli Bank yang bersaing dengan bank-bank barat. Tampaknya seluruh Medan ini milik ayah mertuamu,“Komentarnya kepada suami saya.“ Kalau melihat semua ini, tidak sulit buat kamu memulai usaha sendiri.“
Suami saya dengan penuh keyakinan berkata,“ Kalau ayah mertua saya bisa, mengapa saya tidak?“ Lee menjawab,“ Mertuamu mulai dari bawah. Ia tahu apa artinya kegigihan, sedangkan kamu lahir sebagai anak orang kaya.“
Ayah menawarkan beasiswa kepada Lee, tetapi ia menolak. Ia lebih suka bekerja di sebuah perusahaan sepatu karet yang besar di Singapura, milik Tan Kak Kee. Ketika suatu hari kami mengunjungin ya di Singapura, ternyata ia tinggal di sebuah kamar sempit yang lembab dan berbau karet. Pulang dari sana, suami saya menghela nafas. “Ah, teman kita yang malang,” katanya. Kami tidak pernah menyangka bahwa kelak Lee Kok Chian akan menjadi raja karet yang termasyhur.

Dianggap membawa rezeki

Kami merayakan tahun baru Imlek di Amoy, kemudian ayah saya genap berdinas 30 tahun pada pemerintah Hindia Belanda dan peristiwa itu akan dirayakan besar-besran. Ketika itu ibu saya baru melahirkan seorang anak laki laki lagi, lee Liong. Artinya adik saya ini lebih muda daripada putera saya.
Tidak lama setelah itu ayah menandatangani kontrak pendirian Batavia bank di Batavia dengan Majoor der Chinezen Khouw Kim An dan Kapitein Lie Tjian Tjoen serta beberapa orang lain. Dari 600 saham, ayah memegang 200 di antaranya. Suami saya dijadikan manajer Deli Bank di Medan dan kami mendapat rumah di daerah elite di Medan. Di rumah baru ini kami bisa berbuat sekehendak hati karena lepas dari pengawasan ibu.
Ketika kami pergi ke Amoy untuk merayakan tahun baru Imlek,suami saya membawa hadiah kerongsang (bros bertatah intan) untuk ibunya. Ibu mertua saya sangat senang. Suami saya kini dipandang tinggi, sebagai seorang yang sudah berpenghasilan. Orang-orang yang dulu menganggap saya barbar, kini berpendapat bahwa saya isteri pembawa rezeki. Walaupun demikian, kami tetap tidak boleh membawa Tong ke Medan.
Bulan November tahun 1919 itu, ibu melahirkan anak ketujuh. Seorang anak laki-laki lagi, Tseong liong, yang biasa kami panggil adek.
Bank Baru Pembawa Petaka
Atas saran beberapa orang suami saya mendirikan bank baru, Kong Siong Bank, saya menganggap tindakan ini tidak sehat, sebab bank baru ini bisa saja mempunyai kepentingan yang berlawanan dengan Deli Bank milik ayah, tempat ia menjadi manajer pelaksana.“Tidak , kedua bank ini akan bekerja sama,“dalih suami saya. Katanya, ia mempunyai orang kepercayaan untuk mengelolanya. Ternyata Kong Siong Bank merosot dari hari ke hari dan tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Bukan cuma keluarga kami yang menghadapi masalah-masalah dengan generasi mudanya. Putra sulung paman Yong Hian, memang menjadi konsul Republik cina di Mean, tetapi adik-adiknya yang laki-laki seperti Kung We, Kung Lip dan Kung Tat sering membuat heboh dengan cara hidup mereka yang berlebihan. Isteri mereka saling bersaing dalam perhiasan dan pakaian. Sementara mobil-mobil mewah mereka yang selalu baru, memamerkan diri sepanjang jalan jalan kota Medan. Ayah risau dan bahkan sempat sakit karena para kemenakannya ini ada yang mengalami ketekoran dana di Deli Bank. Selain itu mereka membuat orang iri dan menimbulkan celaan serta pergunjingan. Para orang kaya baru ini betul-betul tidak menghormati jerih payah orang tuanya dalam mencari uang dan tidak menghargai warisan.
Bibi Hsi, ibu mereka yang terbiasa tinggal di desa di daratan Cina, sebaliknya hidup hemat dan sederhana sekali di Medan. Ia tidak pernah iri pada kemewahan orang lain, sehingga luput dari celaan.
Kaum muda ini rupanya tidak menginsafi dampak PD I di Eropa terhadap ekonomi dunia. Pada masa itu juga para penjudi profesional dari Penang memperkenalkan judi pei-bin di Medan. Banyak orang tergila-gila pada judi dengan akibat usaha mereka rusak tanpa bisa diperbaiki lagi.

Ayah merasa sudah Tua.

Tahun 1920 yang penuh gejolak itu ayah dan ibu merayakan pernikahan perak mereka. Ayah tidak mau orang-orang menghamburkan uang untuk hadiah baginya, sehingga perayaan hanya diadakan di antara keluarga. Walaupun sederhana, semua orang gembira. Saya terkenang kembali masa saya masih kecil.
Ayah merasa ia sudah tua. Ia sudah menyiapkan 12 rumah atas nama ibu yang diharapkan akan memberikan penghasilan yang cukup bagi ibu di masa yang akan datang. Walaupun ibu galak, ia tidak serakah. Ia menolak hadiah ini, seperti ia menolak membeli perhiasan seperti yang dipakai isteri rekan rekan ayah dari Jawa.
Ayah memberi sepuluh ruko untuk saya, yang memberi penghasilan hampir seribu gulden sebulan. Dua diantaranya dipakai untuk Kong Siong bank.
Suatu sore awal tahun 1921 ayah memberi tahu ia sudah menerima cetak biru kapal 6000 ton yang dipesannya dari Jepang. Kapal ini bisa dipakai mengangkut penumpang maupun barang. Rencananya ia akan membawa kami ke Eropa dalam perjalanan perdana dan untuk keperluan itu ia sudah belajar berbahasa Inggris.
Hari itu kami berpisah pukul 22.00. Malamnya tiba-tiba saya dibangunkan pesuruh ayah saya.”Non, dipanggil Nyonya besar. Tuan besar tidak enak badan,“kata Amat. Saya gemetar dan segera ikut ke rumah ayah saya. Ayah saya terengah engah di ranjang. Dr. Van Hengel yang memeriksanya berkata,“Anda tidak apa apa, Majoor, cuma terlalu keras bekerja.“Ia meminta ayah untuk beristirahat dan memang ayah tenang kembali.
Keesokan harinya ibu menyuruh saya pergi ke Pangkalan Brandan, untuk berdoa di makam kakek dan nenek saya dari pihak ibu. Tahu tahu saya disusul ke sana dan diminta segera kembali ke Medan. Saya sangat risau sebab merasa keadaan ayah memburuk. Tiba di depan ruamh, saya sudah melihat kesibukan yang tidak biasanya. Jambul (Kian Liong) berlari menyongsong saya.“ Ayah meninggal, katanya.
Saya bengong memandang Jambul tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Seseorang membimbing saya masuk ke ruang besar tempat pemujaan arwah nenek moyang. Ayah berbaring mengenakan jubah panjang biru dan jas pendek hitam. Matanya tertutup rapat, tetapi bibirnya terbuka sedikit seperti ingin mengucapkan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara yang keluar.
Saya membenamkan wajah saya ke lipatan lengan jubahnya yang lebar dan menangis.“Bawa dia pergi,“seru seseorang.“Jangan biarkan air mata menetes ke jenazah. Nanti almarhum lebih berat lagi meninggalkan dunia fana ini.“ Ketika saya dibawa pergi, saya mendengar seseorang berkata,”Dia anak kesayangannya.”
Saat itu adik bungsu saya, Tseong Liong, belum mengerti apa-apa. Saya melihat ia membakar kertas perak dengan kakak-kakaknya. Orang-orang terlalu sibuk untuk menghapuskan jelaga dari wajahnya. Kertas perak itu dibakar untuk memberi bekal kepada ayah kami dalam perjalanannya ke alam baka. Ayah meninggal karena pendarahan otak 8 Februari 1921 atau tanggal 27 bulan 12 tahun monyet menurut penanggalan Cina.
(Catatan Redaksi: Menurut sumber-sumber lain, diantaranya Leo Suryadinata dalam Prominent Chinese Indonesia, Tjong A Fie bunuh diri akibat resesi, perusahaan perusahaannya mundur dan ia tidak bisa membayar cek sebesar 300.000 gulden yang dikeluarkan oleh Deli Bank. Ketika berita itu tersebar, nasabah Deli Bank berlomba-lomba menarik simpanan mereka. Tjong A Fie tidak bisa melihat kenyataan ini, sehingga ia mengakhiri hidupnya sendiri).

Pembagian Warisan

Notaris Fouquain de Grave bersama wakilnya dan juru tulisnya datang membacakan surat wasiat ayah. Semua keturunan ayah , baik laki laki maupun perempuan mendapat warisan tanpa kecuali. Begitu pula putra angkatnya (anak angkat Ibu Lee) dan cucu dari putra angkatnya itu. Ayah menunjuk isterinya sebagai satu satunya executive testamentaire dan wali bagi anak anaknya yang masih di bawah umur. Semua harta peninggalannya, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, sesudah dikurangi dengan yang diberikannya kepada anak-anak perempuannya sebagai bekal pernikahan, dimasukkan ke dalam Yayasan Toen Moek Tong, yang harus didirikan saat ia meninggal, di Medan dan di SungKow
Keturunannya yang pria menjadi ahli waris yang sah dari yayasan itu, yang tidak bisa dibagi, dibubarkan ataupun dijual. Mereka akan menerima persentase dar hasil yayasan itu selama hidup. Selain itu ada persentase untuk mengurus rumah keluarga dan untuk amal. Mereka masing-masing akan menerima 150.000 gulden pada saat menikah. Jika salah seorang ahli waris menjadi invalid karena sakit, cacad sejak lahir, atau mengalami gangguan jiwa, yayasan akan menyokongnya selama hidup.
Orang-orang berdatangan dari tempat-tempat jauh seperti Jawa untuk menunjukkan rasa hormat kepada ayah. Sementara itu para pengemis berbaris di jalan, menunggu makanan dibagikan setiap kali suatu upacara selesai dijalankan.
Enam Puluh Tahun Terakhir
Enam puluh tahun telah lewat. Saat itu keluarga Kwet Liong, Lee Liong dan Tseong Liong serta saya sendiri masih tinggal di rumah besar yang didirikan ayah. Umur saya sekarang (Ketika buku ini ditulis 1981,Red) 84 tahun. Bagaimana caranya menceritakan peristiwa-peristiwa selama kurun waktu 60 dalam sebuah bab yang pendek?
Suami saya tidak berbakat menjadi pengusaha seperti yang diinginkannya. Tahun 1926 ketika kami pulang ke Amoy, kedua mertua saya dalam keadaan tidak sehat sehingga dianjurkan berobat ke Swiss. Ayah mertua saya beserta sejumlah pengiringnya dan kami berangkat tanpa ibu mertua saya. Ia diharapkan menyusul setahun kemudian, tetapi keburu meninggal. Enam tahun lamanya kami tinggal di Eropa. Saya mendapat kesempatan belajar bahasa Jerman dan Prancis. Sebagai satu-satunya orang yang memahami sejumlah bahasa Eropa modern dalam rombongan kami, saya bertindak sebagai penerjemah.
Tahun 1931 kami kembali ke Cina. Selama tiga tahun berikutnya saya menjadi Liaison Offiser menteri luar negeri di Nanking. Di sini saya bertemu dengan Prof. Duivendak, seorang sinolog Belanda yang merasa senang bisa bercakap-cakap dalam bahasanya dengan saya di tempat asing.
Kemudian saya diminta ibu menjadi manajer pelaksana perusahaan kereta api yang didirikan ayah bersama Paman Yong Hian di Swatow. Ketika pecah peang, pemerintah mengharuskan jaringan kereta api dibongkar. Dalam perang itu suami saya dan teman temannya pergi ke Manchuria sedangkan saya mengungsi ke Hongkong lalu Medan. Saya tidak pernah melihat suami saya lagi. Ia meninggal di Manchuria karena kanker paru-paru. Saya bahkan tidak bisa menghadiri pemakamannya.
(Catatan Redaksi: Myra Sidharta, seorang psikolog Lulusan Rijksunivesiteit Leiden, Belanda yang mantan dosen di jurusan sinolog Fakultas sastra Universitas Indonesia, pernah mewawancarai Queeny, suaminya mempunyai seorang kekasih seorang perempuan Swiss yang dibawa ke Cina tahun 1931, setiba di Amoy, Queeny juga mendapatkan seorang anak perempuan di rumah mertuanya, yang ternyata anak suaminya dengan seorang perempuan Jepang pada saat mereka belum berangkat ke Eropa. Karena tidak bisa menerima kehadiran selir suaminya, Queeny pamit kepada ayah mertuanya untuk meninggalkan Amoy. Saat itu putra Queeny, Tong berada di Eropa dengan Ny. Tjong A. Fie)
Dalam PD II, Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. Seusai perang, ibu mengirim saya ke Swatow kembali untuk mengurus kereta api. Ternyata perusahaan kereta api tidak bisa didirikan lagi. Di bekas jalan kereta api itu dibangun jalan raya. Jadi, kami mengusahakan armada bus di sana. Usaha itu berjalan dengan baik. Tampaknya keluarga Tjong akan bangkit kembali, tetapi pemerintah komunis berhasil menguasai Cina. Saya melarikan diri ke Medan sedangkan keluarga suami mengungsi ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang.
Selama dua puluh tahun sesudah itu, saya bepergian ke seluruh Indonesia. Kadang-kadang saya menjenguk keluarga mertua saya di Taiwan. Putra saya Tong menjadi warga negara Singapura. Tahun 1970 ia meninggal akibat kanker mulut.
(Menurut Queeny Chang kepada Myra Sidharta, ia memiliki lima cucu dan beberapa buyut. Ia berhubungan baik dengan anak-anak tirinya, terutama dengan anak tiri yang beribu Jepang, yang kini menjadi pelukis terkemuka di Taipei.)
Ibu berumur panjang. Ketika ibu meninggal tahun 1972, umurnya 93 tahun. Adik saya Sze Yin (Nonie), bersama janda Lee Liong dan saya merawatnya sampai ibu dijemput ajal. Betapa terharunya kami ketika masyarakat Medan ternyata menaruh banyak perhatian pada pemakamannya.
Tahun 1974 saya berkunjung ke Eropa lagi dan kenang-kengangan lama kembali lagi pada saat saya melihat tempat-tempat yang saya kenal baik. Sekarang, selain tinggal di Medan, saya melewatkan sebagian besar waktu saya di Brastagi, di sebuah tempat peristirahatan milik Lee Rubber (perusahaan milik Raja Karet Lee Kong Chian – Red).
Desember 1976 saya terbang dari Jakarta ke Penang untuk menghadiri ulang tahun ke 70 Kian Liong. Ia mengajak saya dan sanak keluarga kami berziarah ke Kek Lok Si, sebuah kuil Buddha di Ayer Itam. Kami menyampaikan persembahan pada ayah kami yang patungnya ada di sana bersama patung para penyumbang pertama pendirian kuil itu di akhir abad XIX lalu.
Alangkah terharunya saya mengetahui orang tua kami masih diingat dengan rasa hormat. Ziarah itu menggugah saya untuk menulis buku ini, sebagai peringatan akan ayah saya yang memberi say masa masa paling bahagia dalam hidup saya. Seperti kata penyair word sworth:
“Walaupun tidak ada yang bisa mengembalikan kemegahan rerumputan
Dan semarak bunga-bungaan. Kami tidak akan bersedih hati melainkan akan menemukan kekuatan dari yang tertinggal.“
(Memories of a Nonya, Eastern Universities Press. Sdn. Bhd.)
Catatan Redaksi: Setelah tulisan ini dimuat dalam Majalah Intisari Mei 1982 (Ketika itu Queeny Chang masih hidup), seorang pembaca bernama Amir Hamzah, mantan Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, menanggapinya demikian:
Pikulan Tidak Dilupakan Walaupun Sudah Kaya Raya
Pada Masa Kanak-kanak, saya tinggal di Medan, di daerah yang bernama Gudang Es. Tempat itu tidak jauh dari Istana Sultan Deli, Sultan Ma’mun Al Rasjid Perkasa Alamsjah.
Di tempat itu ada Gang Mantri yang dihuni ayah Sutan Sjahrir yaitu Mangkuto Sutan, Hoffd Djaksa Gubernemen di Medan. Gang Mantri adalah tempat tinggal orang-orang berpangkat tinggi masa itu.

Selain itu, tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah Tjong A Fie, hartawan dan sosiawan. Di antara sekian banyak orang yang dibantunya mendirikan surau, ternyata seorang ulama besar dari Bukit tinggi, Sjekh Mohamad Djamil Djambek dan paman saya yang mendirikan surau bertingkat di Matur, Bukittinggi.
Tjong A Fie mempunya cara menolong orang-orang yang akan pindah. Biasanya mereka melelang perabot rumah tangganya. Tjong A Fie akan menyuruh anak buahnya membeli perabot satu ruang penuh dengan harga mahal sekali. Sesudah dibayar perabot itu ditinggalkan begitu saja sehingga bisa dilelang sekali lagi.
Pada suatu hari di tahun 1921, ketika saya berumur 6 tahun, teman teman sepermainan berteriak:teriak:”Tjong A Fie mati! Tjong A Fie mati!” Kamis segera pergi ke rumah Tjong A Fie yang besar itu di Kesawan. Di muka rumah kami lihat bendera pelbagai ragam dan kertas-kertas perak bertaburan, sementara beratus ratus orang datang.
Di Muka rumah Tjong A Fie itu, kalau tidak salah pada sebuah toko, terpampang lukisannya dalam ukuran besar sekali. Kami melihat berpuluh puluh orang Cina miskin berjongkok di seberang rumah sosiawan itu, menantikan sedekah.
Kami anak-anak kecil menerobos saja masuk. Kalau saya tidak ingat, dekat peti jenazah ditaruh sebuah pikulan dagang. Konon itu pikulan yang dipakainya menjajakan barang ke sana kemari sebelum ia kaya raya
Ketika sampai 1953 saya menjadi Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, saya bergaul dengan keluarga Tjong A Fie. Salah seorang diantaranya biasa disebut Zus A Foek. Ia sangat fasih berbahasa Hakka, Hokkian, Belanda , Inggris, Jerman , Prancis maupun Indonesia. Ia tidak lain daripada Queeny Chang penulis buku Memories of a Nonya.
Suatu hari, ketika kami diundang ke rumah mreka, di sana kami mendengarkan dr. Djulham dari Binjai memainkan biola. Putri dr. Djulham adalah Trisuri Juliati Kamal yang sekarang menjadi pemain piano terkenal dan tinggal di jakarta. Itulah kenang-kenangan yang saya peroleh dengan keluarga Tjong A. Fie.

Kecelakaan Tragis Mengubah Sang Wanita Cantik Ini


Jacqui, Berasal dari Austin , Amerika


Pada Suatu Hari Dia Diajak ke Pesta Bersama Teman – Temannya, Sebenarnya Sang Ayah sudah menyuruh dia untuk pergi menggunakan Taxi, tapi dia lebih Memilih pergi naik mobil pribadi.
Hingga pada saat perjalanan

Tanpa disangka, mobil yang dia kendarai mengalami kecelakaan, ditabrak mobil lain.
Apa yang terjadi dengan jacqui ?

Keadaan Jacqui Setelah Mengalami Kecelakaan

60% Tubuh Jacqui Terbakar, Jari-Jarinya Hancur

Tak Bisa Menahan Sakit. Tak Bisa Menahan Tangis

Sang ayah setiap hari senantiasa slalu disamping Jacqui

Dialah yang menabrak jacqui, Reggie Stephey, 18 tahun, bintang pemain sepak bola di sekolahnya.
Reggie mengaku Menabrak Jacqui saat berkendara sambil Mabuk
Sekarang Dia dihukum 7 tahun dan denda $20,000

 
Inilah Jacqui Sekarang.. Tetap semangat menjalani hidup, walau terkadang orang di sekitarnya terutama anak-anak yang melihatnya, memanggilnya dengan panggilan ‘monster’, tetapi dia tidak pernah patah semangat..
Kabarnya, dia sekarang tak henti-hentinya mengkampanyekan

sumber : ngobrolaja.com

Hukum "Truk Sampah"


Suatu hari saya naik sebuah taxi dan menuju ke Bandara. Kami melaju pada jalur yang benar ketika tiba-tiba sebuah mobil hitam melompat keluar dari tempat parkir tepat di depan kami. Supir taxi menginjak pedal rem dalam-dalam hingga ban mobil berdecit dan berhenti hanya beberapa cm dari mobil tersebut.
Pengemudi mobil hitam tersebut mengeluarkan kepalanya dan mulai menjerit ke arah kami. Supir taxi hanya tersenyum dan melambai pada orang orang tersebut. Saya benar-benar heran dengan sikapnya yang bersahabat. Maka saya bertanya, “Mengapa anda melakukannya? Orang itu hampir merusak mobil anda dan dapat saja mengirim kita ke rumah sakit!” Saat itulah saya belajar dari supir taxi tersebut mengenai apa yang saya kemudian sebut “Hukum Truk Sampah”.
Ia menjelaskan bahwa banyak orang seperti truk sampah… Mereka berjalan keliling membawa sampah, seperti frustrasi, kemarahan, kekecewaan. Seiring dengan semakin penuh kapasitasnya, semakin mereka membutuhkan tempat untuk membuangnya, dan seringkali mereka membuangnya kepada anda. Jangan ambil hati, tersenyum saja, lambaikan tangan, berkati mereka, lalu lanjutkan hidup.
Jangan ambil sampah mereka untuk kembali membuangnya kepada orang lain yang anda temui, di tempat kerja, di rumah atau dalam perjalanan. Intinya, orang yang sukses adalah orang yang tidak membiarkan “truk sampah” mengambil alih hari-hari mereka dengan merusak suasana hati.
Hidup ini terlalu singkat untuk bangun di pagi hari dengan penyesalan, maka:
Kasihilah orang yang memperlakukan anda dengan benar, berdoalah bagi yang tidak.
Hidup itu 10% mengenai apa yang kau buat dengannya dan 90% tentang bagaimana kamu menghadapinya.
Hidup bukan mengenai menunggu badai berlalu, tapi tentang bagaimana belajar menari dalam hujan.

Tanpa DOsa


Pernahkah anda menatap orang-orang terdekat anda saat sedang tidur?
Kalau belum, cobalah sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang. Seorang artis yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia tidur sudah tak akan tampak wajah bengisnya.
Perhatikanlah ayah anda saat beliau sedang tidur. Sadarilah, betapa badan yang dulu kekar dan gagah itu kini semakin tua dan ringkih, betapa rambut-rambut putih mulai menghiasi kepalanya, betapa kerut merut mulai terpahat di wajahnya. Orang inilah yang tiap hari bekerja keras untuk kesejahteraan kita, anak-anaknya. Orang inlah rela melakukan apa saja asal perut kita kenyang dan pendidikan kita lancar.
Sekarang, beralihlah. Lihatlah ibu anda. Hmm..kulitnya mulai keriput dan tangan yang dulu halus membelai-belai tubuh bayi kita itu kini kasar karena terpaan hidup yang keras. Oang inilah yang tiap hari mengurus kebutuhan kita. Orang inilah yang paling rajin mengingatkan dan mengomeli kita semata-mata karena rasa kasih dan sayangnya itu sering kita salah artika
Cobalah menatap wajah orang-orang tercinta itu : Ayah, Ibu , suami , istri, kakak, adik, anak, sahabat, semuanya. Rasakan sensasi yang timbul sesudahnya. Rasakan energi cinta yang mengalir pelan-pelan saat menatap wajah lugu yang terlelap itu. Raskan getaran cinta yang mengalir deras ketika mengingat betapa banyaknya pengorbanan yang talah dilakukan orang-orang itu untuk kebagaiaan anda. Pengorbanan yang kadang tertutupi oleh kesalah pahaman kecil yang entah kenapa selalu saja nampak besar.
Secara ajaib Tuhan mengatur agar pengorbanan itu bisa tampak lagi melalui wajah-wajah jujur mereka saat sedang tidur. Pengorbanan yang kadang melelahkan namun enggan mereka ungkapkan. dan Ekspresi wajah ketika tidur pun mengungkapkan segalanya. Tanpa kata, tanpa suara dia berkata : ” betapa lelahnya aku hari ini.” dan penyebab lelah itu ? Untuk siapa dia berlelah-lelah? Tak lain adalah suami yang bekerja keras mencari nafkah dan istri yang
bekerja mengurus dan mendidik anak, juga rumah. Kakak, adik, anak, dan sahabat yang telah melewatkan hari-hari suka dan duka bersama kita.

renungan untuk kita semua…

Resapilah kenangan2 manis dan pahit yang pernah terjadi dengan menatap wajah2 mereka… Rasakan betapa kebahagiaan dan keharuan seketika membuncah jika mengingat itu semua… Bayangkan apa yang akan terjadi jika esok hari mereka ” orang2 terkasih itu ” tak membuka matanya, selamanya
Sumber: tak di ketahui

Rabu, 15 Desember 2010

Rahasia Si Untung

Kita semua pasti kenal tokoh si Untung di komik Donal Bebek.
Berlawanan dengan Donal yang selalu sial. Si Untung ini dikisahkan untung terus. Ada saja keberuntungan yang selalu menghampiri tokoh bebek yang di Amerika bernama asli Gladstone ini. Betapa enaknya hidup si Untung. Pemalas, tidak pernah bekerja, tapi selalu lebih untung dari Donal. Jika Untung dan Donal berjalan bersama, yang tiba-tiba menemukan sekeping uang dijalan, pastilah itu si Untung.
Jika Anda juga ingin selalu beruntung seperti si Untung, dont worry, ternyata beruntung itu ada ilmunya. Professor Richard Wiseman dari University of Hertfordshire Inggris, mencoba meneliti hal-hal yang membedakan orang-orang beruntung dengan yang sial.
Wiseman merekrut sekelompok orang yang merasa hidupnya selalu untung, dan sekelompok lain yang hidupnya selalu sial. Memang kesannya seperti main-main, bagaimana mungkin keberuntungan bisa diteliti. Namun ternyata memang orang yang beruntung bertindak berbeda dengan mereka yang sial.
Misalnya, dalam salah satu penelitian the Luck Project ini, Wiseman memberikan tugas untuk menghitung berapa jumlah foto dalam koran yang dibagikan kepada dua kelompok tadi. Orang2 dari kelompok sial memerlukan waktu rata-rata 2 menit untuk menyelesaikan tugas ini. Sementara mereka dari kelompok si Untung hanya perlu beberapa detik saja! Lho kok bisa? Ya, karena sebelumnya pada halaman ke dua Wiseman telah meletakkan tulisan yang tidak kecil berbunyi “berhenti menghitung sekarang! ada 43 gambar di koran ini”. Kelompol sial melewatkan tulisan ini ketika asyik menghitung gambar. Bahkan, lebih iseng lagi, di tengah-tengah koran, Wiseman menaruh pesan lain yang bunyinya: “berhenti menghitung sekarang dan bilang ke peneliti Anda menemukan ini, dan menangkan $250!” Lagi-lagi kelompok sial melewatkan pesan tadi! Memang benar2 sial.
Singkatnya, dari penelitian yang diklaimnya “scientific” ini, Wiseman menemukan empat faktor yang membedakan mereka yang beruntung dari yang sial:
1. Sikap terhadap peluang.
Orang beruntung ternyata memang lebih terbuka terhadap peluang. Mereka lebih peka terhadap adanya peluang, pandai menciptakan peluang, dan bertindak ketika peluang datang. Bagaimana hal ini dimungkinkan? Ternyata orang-orang yg beruntung memiliki sikap yang lebih rileks dan terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru. Mereka lebih terbuka terhadap interaksi dengan orang-orang yang baru dikenal, dan menciptakan jaringan-jaringan sosial baru. Orang yang sial lebih tegang sehingga tertutup terhadap kemungkinan- kemungkinan baru.
Sebagai contoh, ketika Barnett Helzberg seorang pemilik toko permata di New York hendak menjual toko permata nya, tanpa disengaja sewaktu berjalan di depan Plaza Hotel, dia mendengar seorang wanita memanggil pria di sebelahnya: “Mr. Buffet!” Hanya kejadian sekilas yang mungkin akan dilewatkan kebanyakan orang yang kurang beruntung. Tapi Helzber berpikir lain. Ia berpikir jika pria di sebelahnya ternyata adalah Warren Buffet, salah seorang investor terbesar di Amerika, maka dia berpeluang menawarkan jaringan toko permata nya. Maka Helzberg segera menyapa pria di sebelahnya, dan betul ternyata dia adalah Warren Buffet. Perkenalan pun terjadi dan Helzberg yang sebelumnya sama sekali tidak mengenal Warren Buffet, berhasil menawarkan bisnisnya secara langsung kepada Buffet, face to face. Setahun kemudian Buffet setuju membeli jaringan toko permata milik Helzberg. Betul-betul beruntung.
2. Menggunakan intuisi dalam membuat keputusan.
Orang yang beruntung ternyata lebih mengandalkan intuisi daripada logika. Keputusan-keputusan penting yang dilakukan oleh orang beruntung ternyata sebagian besar dilakukan atas dasar bisikan “hati nurani” (intuisi) daripada hasil otak-atik angka yang canggih. Angka-angka akan sangat membantu, tapi final decision umumnya dari “gut feeling”. Yang barangkali sulit bagi orang yang sial adalah, bisikan hati nurani tadi akan sulit kita dengar jika otak kita pusing dengan penalaran yang tak berkesudahan. Makanya orang beruntung umumnya memiliki metoda untuk mempertajam intuisi mereka, misalnya melalui meditasi yang teratur. Pada kondisi mental yang tenang, dan pikiran yang jernih, intuisi akan lebih mudah diakses. Dan makin sering digunakan, intuisi kita juga akan semakin tajam. Banyak teman saya yang bertanya, “mendengarkan intuisi” itu bagaimana? Apakah tiba2 ada suara yang terdengar menyuruh kita melakukan sesuatu? Wah, kalau pengalaman saya tidak seperti itu. Malah kalau tiba2 mendengar suara yg tidak ketahuan sumbernya, bisa2 saya jatuh pingsan. Karena ini subyektif, mungkin saja ada orang yang beneran denger suara. Tapi kalau pengalaman saya, sesungguhnya intuisi itu sering muncul dalam berbagai bentuk, misalnya: – Isyarat dari badan. Anda pasti sering mengalami. “Gue kok tiba2 deg-deg an ya, mau dapet rejeki kali”, semacam itu. Badan kita sesungguhnya sering memberi isyarat2 tertentu yang harus Anda maknakan. Misalnya Anda kok tiba2 meriang kalau mau dapet deal gede, ya diwaspadai saja kalau tiba2 meriang lagi. – Isyarat dari perasaan. Tiba-tiba saja Anda merasakan sesuatu yang lain ketika sedang melihat atau melakukan sesuatu. Ini yang pernah saya alami. Contohnya, waktu saya masih kuliah, saya suka merasa tiba-tiba excited setiap kali melintasi kantor perusahaan tertentu. Beberapa tahun kemudian saya ternyata bekerja di kantor tersebut. Ini masih terjadi untuk beberapa hal lain.
3. Selalu berharap kebaikan akan datang.
Orang yang beruntung ternyata selalu ge-er terhadap kehidupan. Selalu berprasangka baik bahwa kebaikan akan datang kepadanya. Dengan sikap mental yang demikian, mereka lebih tahan terhadap ujian yang menimpa mereka, dan akan lebih positif dalam berinteraksi dengan orang lain. Coba saja Anda lakukan tes sendiri secara sederhana, tanya orang sukses yang Anda kenal, bagaimana prospek bisnis kedepan. Pasti mereka akan menceritakan optimisme dan harapan.
4. Mengubah hal yang buruk menjadi baik.
Orang-orang beruntung sangat pandai menghadapi situasi buruk dan merubahnya menjadi kebaikan. Bagi mereka setiap situasi selalu ada sisi baiknya. Dalam salah satu tes nya Prof Wiseman meminta peserta untuk membayangkan sedang pergi ke bank dan tiba-tiba bank tersebut diserbu kawanan perampok bersenjata. Dan peserta diminta mengutarakan reaksi mereka. Reaksi orang dari kelompok sial umumnya adalah: “wah sial bener ada di tengah2 perampokan begitu”. Sementara reaksi orang beruntung, misalnya adalah: “untung saya ada disana, saya bisa menuliskan pengalaman saya untuk media dan dapet duit”. Apapun situasinya orang yg beruntung pokoknya untung terus. Mereka dengan cepat mampu beradaptasi dengan situasi buruk dan merubahnya menjadi keberuntungan.
Sekolah Keberuntungan.
Bagi mereka yang kurang beruntung, Prof Wiseman bahkan membuka Luck School. Latihan yang diberikan Wiseman untuk orang-orang semacam itu adalah dengan membuat “Luck Diary”, buku harian keberuntungan. Setiap hari, peserta harus mencatat hal-hal positif atau keberuntungan yang terjadi. Mereka dilarang keras menuliskan kesialan mereka. Awalnya mungkin sulit, tapi begitu mereka bisa menuliskan satu keberuntungan, besok-besoknya akan semakin mudah dan semakin banyak keberuntungan yang mereka tuliskan. Dan ketika mereka melihat beberapa hari kebelakang Lucky Diary mereka, mereka semakin sadar betapa beruntungnya mereka. Dan sesuai prinsip “law of attraction”, semakin mereka memikirkan betapa mereka beruntung, maka semakin banyak lagi lucky events yang datang pada hidup mereka. Jadi, sesederhana itu rahasia si Untung. Ternyata semua orang juga bisa beruntung. Termasuk teman semua.
Siap mulai menjadi si Untung?

Aku Mau Mama Kembali

Di Propinsi Zhejiang China, ada seorang anak laki-laki yang luar biasa, sebut saja namanya Zhang Da. Zhang Da adalah salah satu dari sepuluh orang yang dinyatakan telah melakukan perbuatan yang luar biasa dari antara 1,4 milyar penduduk China. Tepatnya 27 Januari 2006 Pemerintah China, di Propinsi Jiangxu, kota Nanjing, serta disiarkan secara Nasional keseluruh pelosok negeri, memberikan penghargaan kepada 10 (sepuluh) orang yang luar biasa, salah satunya adalah Zhang Da.

Pada waktu tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh Mamanya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan karena suami yang sakit keras. Dan sejak hari itu Zhang Da hidup dengan seorang Papa yang tidak bisa bekerja, tidak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi ini memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat. Ia harus sekolah, ia harus mencari makan untuk Papanya dan juga dirinya sendiri, ia juga harus memikirkan obat-obat yang yang pasti tidak murah untuk dia.

Dalam kondisi yang seperti inilah kisah luar biasa Zhang Da dimulai.
Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan tanggung jawab yang susah dan pahit ini. Ia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang harus menerima kenyataan hidup yang pahit di dunia ini. Tetapi yang membuat Zhang Da berbeda adalah bahwa ia tidak menyerah.

“Hidup harus terus berjalan, tapi tidak dengan melakukan kejahatan, melainkan memikul tanggungjawab untuk meneruskan kehidupannya dan papanya.” demikian ungkapan Zhang Da ketika menghadapi utusan pemerintah yang ingin tahu apa yang dikerjakannya.

Ia mulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai sekolah harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, Ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang juga ia menemukan sejenis jamur, atau rumput dan ia coba memakannya. Setelah jam pulang sekolah di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu ia gunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk papanya.

Hidup seperti ini ia jalani selama lima tahun tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. ZhangDa Merawat Papanya yang Sakit. Sejak umur 10 tahun, ia mulai tanggungjawab untuk merawat papanya. Ia menggendong papanya ke WC, ia menyeka dan sekali-sekali memandikan papanya, ia membeli beras dan membuat bubur, dan segala urusan papanya, semua dia kerjakan dengan rasa tanggungjawab dan kasih. Semua pekerjaan ini menjadi tanggungjawabnya sehari-hari.

Zhang Da menyuntik sendiri papanya.Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik untuk mengatasi semua ini. Saya sungguh kagum, kalau anak kecil main dokter-dokteran dan suntikan itu sudah biasa. Tapi jika anak 10 tahun memberikan suntikan seperti layaknya suster atau dokter yang sudah biasa memberi injeksi saya baru tahu hanya Zhang Da. Orang bisa bilang apa yang dilakukannya adalah perbuatan nekad, sayapun berpendapat demikian. Namun jika kita bisa memahami kondisinya maka saya ingin katakan bahwa Zhang Da adalah anak cerdas yang kreatif dan mau belajar untuk mengatasi kesulitan yang sedang ada dalam hidup dan kehidupannya. Sekarang pekerjaan menyuntik papanya sudah dilakukannya selama lebih kurang lima tahun,maka Zhang Da sudah trampil dan ahli menyuntik.

> > Aku Mau Mama Kembali <<

Ketika mata pejabat, pengusaha, para artis dan orang terkenal yang hadir dalam acara penganugerahan penghargaan tersebut sedang tertuju kepada Zhang Da, Pembawa Acara (MC) bertanya kepadanya, “Zhang Da, sebut saja kamu mau apa, sekolah di mana, dan apa yang kamu rindukan untuk terjadi dalam hidupmu, berapa uang yang kamu butuhkan sampai kamu selesai kuliah, besar nanti mau kuliah di mana, sebut saja. Pokoknya apa yang kamu idam-idamkan sebut saja, di sini ada banyak pejabat, pengusaha, orang terkenal yang hadir. Saat ini juga ada ratusan juta orang yang sedang melihat kamu melalui layar televisi, mereka bisa membantumu!”
Zhang Da pun terdiam dan tidak menjawab apa-apa. MC pun berkata lagi kepadanya, “Sebut saja, mereka bisa membantumu”
Beberapa menit Zhang Da masih diam, lalu dengan suara bergetar iapun menjawab, “Aku Mau Mama Kembali. Mama kembalilah ke rumah, aku bisa membantu Papa, aku bisa cari makan sendiri, Mama Kembalilah!” demikian Zhang Da bicara dengan suara yang keras dan penuh harap.

Saya bisa lihat banyak pemirsa menitikkan air mata karena terharu, saya pun tidak menyangka akan apa yang keluar dari bibirnya. Mengapa ia tidak minta kemudahan untuk pengobatan papanya, mengapa ia tidak minta deposito yang cukup untuk meringankan hidupnya dan sedikit bekal untuk masa depannya, mengapa ia tidak minta rumah kecil yang dekat dengan rumah sakit mengapa ia tidak minta sebuah kartu kemudahan dari pemerintah agar ketika ia membutuhkan, melihat katabelece yang dipegangnya semua akan membantunya. Sungguh saya tidak mengerti, tapi yang saya tahu apa yang dimintanya, itulah yang paling utama bagi dirinya. Aku Mau Mama Kembali, sebuah ungkapan yang mungkin sudah dipendamnya sejak saat melihat mamanya pergi meninggalkan dia dan papanya.

Kisah Sang Konosuke Matsushita

Di tahun 1929, pernah terjadi ‘depresi ekonomi global’. Wall Street menukik tajam tak terkendali. Surat saham tak lebih nilainya seperti kertas biasa.

Saat itu, General Motor terpaksa mem-PHK separo dari 92.829 karyawannya. Perusahaan besar maupun kecil bangkrut.

Jutaan orang menjadi pengangguran. Jutaan orang kelaparan. Daya beli turun bersama harga dan lowongan pekerjaan.

Malam menjadi gelap gulita. Kepanikan terjadi di mana-mana. Toko yang masih bertahan, menghentikan pembelian dari pabrik karena gudang sudah penuh dengan barang yang tidak terjual.

Saat itu, Konosuke Matsushita yang memproduksi peralatan listrik bermerek National dan Panasonic baru saja merampungkan pabrik dan kantor dengan pinjaman dari Bank Sumitomo.

Kondisi badannya sering sakit-sakitan akibat gizi yang kurang di masa kanak-kanak, ditambah lagi dengan kerja 18 jam sehari, 7 hari seminggu selama 12 tahun merintis usahanya. Hanya semangat hiduplah yang membuatnya masih bernapas.

Dengan punggung bersandar ke tembok rumah, Matsushita mendengarkan laporan tentang kondisi perekonomian yang terus memburuk ketika manajemennya datang menjenguk. Lalu bagaimana tanggapannya ?

“Kurangi produksi separonya, tetapi JANGAN mem-PHK karyawan. Kita akan mengurangi produksi bukan dengan merumahkan pekerja, tetapi dengan meminta mereka untuk bekerja di pabrik hanya setengah hari.

Kita akan terus membayar upah seperti yang mereka terima sekarang, tetapi kita akan menghapus semua hari libur. Kita akan meminta semua pekerja untuk bekerja sebaik mungkin dan berusaha menjual semua barang yang ada di gudang.”

Perintah ini bagi anak buahnya sama anehnya dengan depresi ekonomi itu sendiri. Koq bisa terjadi, yah ?

Dalam situasi begitu, sangatlah masuk akal jika perusahaan mem-PHK karyawan demi efisiensi. Namun Matsushita karena keyakinannya pada sang kebajikan sudah mantap, demi kelangsungan hidup anak-istri karyawannya, akhirnya mampu menghasilkan terobosan yang manusiawi pada masa depresi ekonomi tersebut.

Kebajikan Matsushita terhadap karyawannya mendapatkan hasil yang manis 16 tahun kemudian dari karyawan yang pernah ditolongnya. Ia menuai buah kebajikannya sendiri.

Ketika Perang Dunia II berakhir, Jenderal Douglas McArthur yang mengendalikan Jepang, menangkapi semua pengusaha Jepang untuk diadili karena keterlibatan mereka selama perang.

Pada kurun 1930-an, para pengusaha Jepang, termasuk Matsushita, mendapat tekanan rezim militer Jepang saat itu untuk memproduksi senjata dan logistik militer lainnya. Maka Matsushita pun ikut ditangkap.

Sekitar 15.000 pekerja bersama keluarganya membubuhkan tanda tangan petisi pembelaan untuk Matsushita !!! Jenderal McArthur pun tercengang oleh petisi tersebut dan akhirnya membebaskan Matsushita.

Tidak ada pemilik usaha dan pimpinan industri sebelum perang dunia kedua yang diizinkan McArthur kembali ke pekerjaannya kecuali Matsushita.

Demikianlah Matsushita dapat terus memimpin perusahaannya sampai menjadi raksasa elektronik dunia, dan baru pensiun pada tahun 1989 pada usia 94 tahun.

Ketika Matsushita meninggal tahun 1990, bukan cuma para pebisnis yang berduka cita. Presiden Amerika saat itu, George Bush (Senior), pun turut berduka.

Matsushita berhasil membangun dirinya melewati ambang batas pengusaha yang umumnya selalu lapar duit dan haus fulus serta menjadi pribadi yang humanis dan filsuf yang sangat peduli terhadap kemanusiaan.

Bagi Matsushita, uang bukanlah tujuan. Meskipun butuh uang tetapi uang bukanlah segala-galanya. Baginya, uang adalah sarana untuk melakukan kebajikan.

Itu sebabnya, beliau tidak pernah menggigit orang, main curang, atau merebut jatah orang lain. Matsushita yakin bahwa kalau kita tidak jahat dan terus berbuat baik maka kejahatan akan menjauhi kita dan kebaikan akan melindungi kita.

Asal Mula Stanford University

Harga Sebuah Baju

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.

Sesampainya disana sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

“Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard”, kata sang pria lembut.

“Beliau hari ini sibuk,” sahut sang Sekretaris cepat.

“Kami akan menunggu,” jawab sang Wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi.
Tetapi nyatanya tidak.

Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

“Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk.
Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka.

Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.

Sang wanita berkata padanya, “Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. bolehkah?” tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. “Nyonya,” katanya dengan kasar, “Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.”

“Oh, bukan,” Sang wanita menjelaskan dengan cepat,

“Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya.
Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, “Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung? Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam.
Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang.

Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, “Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?”

Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan. Akhirnya Mr. dan Mrs. Leland Stanford yang merupakan raja kereta api dan gubernur California itu pun bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Harvard.

Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

Pesan Moral :

Kita, seperti pimpinan Harvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai.
Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap menipu.

Asal Mula Stanford University

Harga Sebuah Baju

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.

Sesampainya disana sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

“Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard”, kata sang pria lembut.

“Beliau hari ini sibuk,” sahut sang Sekretaris cepat.

“Kami akan menunggu,” jawab sang Wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi.
Tetapi nyatanya tidak.

Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

“Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk.
Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka.

Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.

Sang wanita berkata padanya, “Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. bolehkah?” tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. “Nyonya,” katanya dengan kasar, “Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.”

“Oh, bukan,” Sang wanita menjelaskan dengan cepat,

“Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya.
Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, “Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung? Kalian perlu memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam.
Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang.

Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, “Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?”

Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan. Akhirnya Mr. dan Mrs. Leland Stanford yang merupakan raja kereta api dan gubernur California itu pun bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi dipedulikan oleh Harvard.

Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

Pesan Moral :

Kita, seperti pimpinan Harvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai.
Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap menipu.

Selasa, 14 Desember 2010

Sahabat...


Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur, Filipina, yang setiap hari mengambil rute melintasi daerah tanah yang berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan.
Setiap kali berhasil menyebrangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke Gereja tiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan, sahabatnya.
Tindakannya ini selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.
“Bagaimana kabarmu, Andy? Apakah kamu akan ke Sekolah?”
“Ya, Bapa Pendeta!” balas Andy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.
Dia begitu memperhatikan keselamatan Andy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut, “Jangan menyebrang jalan raya sendirian, setiap kali pulang sekolah, kamu boleh mampir ke Gereja dan saya akan memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat.”
“Terima kasih, Bapa Pendeta.”
“Kenapa kamu tidak pulang sekarang? Apakah kamu tinggal di Gereja setelah pulang sekolah?”
“Aku hanya ingin menyapa kepada Tuhan.. sahabatku.”
Dan Pendeta tersebut meninggalkan Andy untuk melewatkan waktunya di depan altar berbicara sendiri, tetapi pastur tersebut bersembunyi di balik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andy kepada Bapa di Surga.
“Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanya kue ini.
Terima kasih buat kue ini, Tuhan! Tadi aku melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya.. lucunya, aku jadi tidak begitu lapar.
Lihat ini selopku yang terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan.Engkau tahu sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa..
paling
tidak aku tetap dapatpergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa dari temanku sudah berhenti sekolah, tolong Bantu mereka supaya bisa bersekolah lagi.
Tolong Tuhan.
Oh, ya..Engkau tahu kalau Ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang Ibu.
Tuhan, Engkau mau lihat lukaku??? Aku tahu Engkau dapat menyembuhkannya, disini..disini.aku rasa Engkau tahu yang ini kan….??? Tolong jangan marahi ibuku, ya..?? dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makan dan biaya sekolahku..itulah mengapa dia memukul aku.
Oh, Tuhan..aku rasa, aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang sangat cantik dikelasku, namanya Anita. menurut Engkau, apakah dia akan menyukaiku??? Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.
Hei.ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira??? Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu.
Aku berharap Engkau menyukainya. Oooops..aku harus pergi sekarang.”
Kemudian Andy segera berdiri dan memanggil Pendeta .
“Bapa Pendeta..Bapa Pendeta..aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyebrang jalan sekarang!”
Kegiatan tersebut berlangsung setiaphari, Andy tidak pernah absen sekalipun.
Pendeta Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di Gerejanya setiap hari Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Tuhan.. suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.
Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga tidak bisa memimpin gereja dan dirawat di rumah sakit. Gereja tersebut diserahkan kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga mengutuki orang yang menyinggung mereka.
Ketika mereka sedang berdoa, Andypun tiba di Gereja tersebut usai menghadiri pesta Natal di sekolahnya, dan menyapa “Halo Tuhan..Aku..”
“Kurang ajar kamu, bocah!!!tidakkah kamu lihat kalau kami sedang berdoa???!!! Keluar, kamu!!!!!”
Andy begitu terkejut,”Dimana Bapa Pendeta Agaton..??Seharusnya dia membantuku menyeberangi jalan raya. dia selalu menyuruhku untuk mampir lewat pintu belakang Gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus, karena hari ini hari ulang tahunNya, akupun punya hadiah untukNya..”
Ketika Andy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar Gereja.
“Keluar kamu, bocah!..kamu akan mendapatkannya!!!”
Andy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyebrangi jalan raya yang berbahaya tersebut di depan Gereja. Lalu dia menyeberang, tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang – disitu ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andy melindungi hadiah tersebut didalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut. Waktunya hanya sedikit untuk menghindar.dan Andypun tewas seketika. Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang sudah tidak bernyawa lagi.
Tiba-tiba, entah muncul darimana ada seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut, namun dengan penuh airmata dating dan memeluk bocah malang tersebut. Dia menangis.
Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya,”Maaf tuan..apakah anda keluarga dari bocah yang malang ini? Apakah anda mengenalnya?”
Tetapi pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam berkata,”Dia adalah sahabatku.” Hanya itulah yang dikatakan.
Dia mengambil bungkusan hadiah dari dalam saku baju bocah malang tersebut dan menaruhnya didadanya. Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh bocah tersebut, kemudian keduanya menghilang. Orang-orang yang ada disekitar tersebut semakin penasaran dan takjub..
Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sangat mengejutkan.
Diapun berkunjung ke rumah Andy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dengan kedua orang tua Andy.
“Bagaimana anda mengetahui putra anda telah meninggal?”
“Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari.” Ucap ibu Andy terisak.
“Apa katanya?”
Ayah Andy berkata,”Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andy, sepertinya Dia begitu mengenal Andy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan mengenai dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andy dari wajahnya dan memberikan kecupan dikeningnya, kemudian Dia membisikkan sesuatu.
“Apa yang dikatakan?”
“Dia berkata kepada putraku..” Ujar sang Ayah. “Terima kasih buat kadonya.
Aku akan berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaku.” Dan sang ayah melanjutkan, “Anda tahu kemudian semuanya itu terasa begitu indah.. aku menangis tapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu.aku menangis karena bahagia..aku tidak dapat menjelaskannya Bapa Pendeta, tetapi ketika dia meninggalkan kami, ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku.. Aku tidak dapat melukiskan sukacita dalam hatiku. aku tahu, putraku sudah berada di Surga sekarang.
Tapi tolong Bapa Pendeta .. Siapakah pria ini yang selalu bicara dengan putraku setiap hari di Gerejamu? Anda seharusnya mengetahui karena anda selalu di sana setiap hari, kecuali pada saat putraku meninggal.
Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes dipipinya, dengan lutut gemetar dia berbisik,”Dia tidak berbicara kepada siapa-siapa… kecuali dengan Tuhan.”

Kasih Seekor Anjing

Berikut rangkuman foto-foto kematian seekor anjing yang ditangisi anjing lainnya setelah tertabrak mobil di suatu jalan raya di Kaohsiung Taiwan pada tanggal 24 Desember 2007.
Sungguh menyedihkan bila anjingpun punya perasaan sayang pada sesamanya, bagaimana dengan kita… simak saja kejadian menyedihkan berikut ini..
Posted Image
Posted Image
Posted Image
Posted Image
sumber ; bluefame

Laki-Laki SuperJenius yang Memiliki Keterbelakangan Mental


Menurut ayahnya, Peek sudah memiliki ingatan yang kuat sejak usia 16-20 bulan. Ia membaca buku, mengingat isinya lalu mengembalikan buku-buku tersebut dengan posisi terbalik ke rak untuk menunjukkan kalau ia sudah selesai membacanya. Ia membaca satu buku dalam waktu satu jam, dan mengingat nyaris semua yang ia baca, mengingat informasi yang sangat luas dalam hal sejarah, literatur, geografi, angka, olahraga, musik dan tanggal.
 
Teknik membacanya yaitu dengan membaca halaman kiri dengan mata kirinya dan halaman kanan dengan mata kanannya, dengan cara ini ia bisa membaca dua halaman sekaligus dengan rate 8-10 detik per halaman. ia bisa mengingat isi 12000 buku.
Mungkin para pencinta fisika sudah tidak asing lagi dengan beberapa nama orang-orang jenius di bidang fisika seperti: Albert Einstein, Erwin Schroedinger, Max Planck, dan sebangsanya. Mereka memang merupakan orang jenius yang terlahir pada zamannya masing-masing. Tapi sekarang kita tak akan membicarakan mereka, karena yang akan dibahas kali ini adalah sesosok manusia SUPERJENIUS, dialah The Rain Man alias Kim Peek.
MASA-MASA AWAL KEHIDUPAN KIM

Kim dilahirkan pada tahun 1951 dengan ukuran kepala 3 kali lebih besar dibandingkan ukuran kepala bayi normal. Selain itu, Kim juga divonis menderita encephalocele, yaitu semacam luka di belakang kepala yang memperlihatkan sebagian otaknya yang menonjol keluar. Di usia tiga tahun, luka itu semakin meluas dan merusak sebagian otak Kim. Tahun 1983, Kim menjalani pemeriksaan X-ray yang berhasil menyibak keanehan yang terjadi di otak Kim, yaitu otak Kim hanya memiliki satu bagian! Dengan kata lain, otak Kim tidakterbagi menjadi otak kanan dan otak kiri layaknya orang normal.Kemudian, setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan, kemballi diperlihatkan bahwa setengah dari bagian otak Kim telah terpecah menjadi tiga bagian.
Berbagai pemeriksaan itu tak juga memberikan keterangan mengenai penyebab kejeniusan Kim, hanya penyebab ketidakmampuannya. Kim memiliki kelemahan dalam hal motorik, bahkan untuk mandi dan menggosok gigi pun tak dapat dilakukan seorang diri. Ketika Kim lahir, dokter memvonisnya sebagai ‘anak terbelakang’ atau ‘cacat mental’ dan ia menyarankan kedua orang tua Kim untuk membawanya ke rumah perawatan. Namun pada saat itu Fran dan istrinya membawa pulang Kim dan memperkenalkan Kim pada buku. Pada usia tiga tahun, Kim bertanya pada Fran arti kata “rahasia”. Sambil bercanda, Fran menyuruh putranya itu untuk mencarinya di kamus. “Saat itu ia belum bisa berjalan”, kenangnya, “jadi ia merangkak ke arah meja, mengangkat tubuhnya ke atas meja dan sekitar 30 detik kemudian ia berseru ‘ketemu!’” Saat berumur 4,5 tahun Kim sudah hafal 8 volume awal dari satu set ensiklopedia yang ada di rumahnya. Bahkan, baru-baru ini telah terungkap bahwa Kim dapat membaca 2 halaman buku secara bersamaan dan meyerap isinya hanya dalam waktu 10 detik! Hebatnya lagi informasi yang ia peroleh tadi tak akan dia lupakan. Menakjubkan!
Selain kemampuan menghafal dan aritmatika yang jauh d iatas rata-rata, Kim juga mencintai musik dan belajar memainkan piano pada Dr. April Greenan dari Universitas Utah. “Dia mempunyai kemampuan bermusik yang fenomenal dan lebih dari sekedar menghafal”, Ujar Dr.Greenan. “Bila Kim mendengar sebuah simfoni saat dia kecil, dan kemudian mendengarnya lagi pada usia 53 tahun, ia langsung dapat mengetahui bila terdapat kesalahan kecil pada permainan musik itu.”
KEJENIUSAN SEORANG KIM PEEK

Sesungguhnya apa yang dikatakan dokter yang membantu kelahiran Kim ialah benar, bahwa Kim bukanlah merupakan seorang autis jenius, tapi lebih tepat disebut pria dengan keterbelakangan mental yang superjenius. Karena seorang yang jenius biasanya memiliki kemampuan luar biasa dalam 3 bidang. Tetapi Kim, sang superjenius, memiliki kemampuan yang sangat hebat setidaknya di 15 bidang yang berbeda! Hal ini disebabkan karena kemampuan menghafal 12000 buku, memprediksi cuaca dan memiliki kemampuan bermusik layaknya Mozart!
Tak ada orang lain di dunia ini yang memiliki kapasitas otak seperti Kim Peek. Badan Antariksa Amerika (NASA) pun tertarik menggunakan berbagai peralatan canggih, seperti brain imaging dan data fusion techniques, untuk menemukan rahasia di balik kemampuan otak Kim yang mengagumkan. Ketika Kim ditanya mengenai pendapatnya mengenai langkah yang akan diambil NASA, ia pun menjawab, “Itu yang terbaik.” Mengapa dia bisa tahu segalanya? “Karena saya punya rasa cinta yang besar pada semua yang saya lihat,”ujar Kim. Sulit untuk berbincang-bincang dengan Kim. Pikirannya mampu berpindah-pindah dengan kecepatan tinggi. Namun dengan bantuan Fran, Kim selalu dibimbing untuk kembali pada topik pembicaraan semula.
Dalam sebuah pembicaraan umum, seorang bercerita bahwa ia dibesarkan di kota Cirencester. “Itu adalah nama kamp orang Romawi, Corin,” sahut Kim. “Corinium,” ujar orang tersebut seraya membetulkan pernyataan Kim. Tetapi belakangan, setelah dicek ulang, Kimlah yang benar. Karena orang-orang Romawi mengambil nama Corinium dari bahasa Keltik, Corin.

Gadis Penjual Keperawanan


Wanita itu berjalan agak ragu memasuki hotel berbintang lima . Sang petugas satpam yang berdiri di samping pintu hotel menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk di lounge yang agak di pojok.
Petugas satpam itu memperhatikan sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena dua kali waiter mendatanginya tapi,wanita itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya. Petugas satpam itu mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari mangsa di hotel ini.
Usianya nampak belum terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang tengah beranjak dewasa. Setelah sekian lama, akhirnya memaksa petugas satpam itu untuk mendekati meja wanita itu dan bertanya:
” Maaf, nona … Apakah anda sedang menunggu seseorang? ”
” Tidak! ” Jawab wanita itu sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.
” Lantas untuk apa anda duduk di sini?”
” Apakah tidak boleh? ” Wanita itu mulai memandang ke arah sang petugas satpam..
” Maaf, Nona. Ini tempat berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami.”
” Maksud, bapak? ”
” Anda harus memesan sesuatu untuk bisa duduk disini ”
” Nanti saya akan pesan setelah saya ada uang. Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk di sini untuk sesuatu yang akan saya jual ” Kata wanita itu dengan suara lambat.
” Jual? Apakah anda menjual sesuatu di sini? ” Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu. Tak nampak ada barang yang akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawabrosur.
” Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti. ”
” Saya ingin menjual diri saya, ” Kata wanita itu dengan tegas sambil menatap dalam-dalam kearah petugas satpam itu. Petugas satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
” Mari ikut saya, ” Kata petugas satpam itu memberikan isyarat dengan tangannya. Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperativ karena ada
secuil senyum di wajah petugas satpam itu. Tanpa ragu wanita itu melangkah mengikuti petugas satpam itu. Di koridor hotel itu terdapat kursi yang hanya untuk satu orang. Disebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat inilah deal berlangsung.
” Apakah anda serius? ”
” Saya serius ” Jawab wanita itu tegas.
” Berapa tarif yang anda minta? ”
” Setinggi-tingginya. .’ ”
‘ Mengapa?” Petugas satpam itu terkejut sambil menatap wanita itu.
” Saya masih perawan ”
” Perawan? ” Sekarang petugas satpam itu benar-benar terperanjat. Tapi wajahnya berseri. Peluang emas untuk mendapatkan rezeki berlebih hari ini.
Pikirnya ” Bagaimana saya tahu anda masih perawan?”
” Gampang sekali. Semua pria dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan.. Ya kan …”
” Kalau tidak terbukti? ”
” Tidak usah bayar …”
” Baiklah …” Petugas satpam itu menghela napas. Kemudian melirik kekiri dan ke kanan. ” Saya akan membantu mendapatkan pria kaya yang
ingin membeli keperawanan anda. ”
” Cobalah. ”
” Berapa tarif yang diminta? ”
” Setinggi-tingginya. ”
” Berapa? ”
” Setinggi-tingginya. Saya tidak tahu berapa? ”
” Baiklah.. Saya akan tawarkan kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya.” Petugas satpam itu berlalu dari hadapan wanita itu.Tak berapa lama kemudian, petugas satpam itu datang lagi dengan wajah cerah.
” Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta Rp. 5 juta. Bagaimana?”
” Tidak adakah yang lebih tinggi? ”
” Ini termasuk yang tertinggi, ” Petugas satpam itu mencoba meyakinkan.
” Saya ingin yang lebih tinggi…”
” Baiklah. Tunggu disini …” Petugas satpam itu berlalu.Tak berapa lama petugas satpam itu datang lagi dengan wajah lebih berseri.
” Saya dapatkan harga yang lebih tinggi. Rp. 6 juta rupiah. Bagaimana? ”
” Tidak adakah yang lebih tinggi? ”
” Nona, ini harga sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa apa. Atau
andai perawananda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan apa apa, kecuali janji. Dengan uang Rp. 6 juta anda akan menikmati layanan hotelberbintang untuk semalam dan keesokan paginya anda bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baikterhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi ini dari tamu hotel. Adilkan. Kita sama-sama butuh … ”
” Saya ingin tawaran tertinggi … ” Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas satpam itu. Petugas satpam itu terdiam. Namun tidak kehilangan semangat.
” Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya.Tolong kancing baju anda disingkapkan sedikit. Agar ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli.
” Kata petugas satpam itu dengan agak kesal. Wanita itu tak peduli dengan saran petugas satpam itu tapi tetap mengikuti langkah petugas satpam itu memasuki lift. Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam nampak pria bermata sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.
” Ini yang saya maksud, tuan. Apakah tuan berminat? ” Kata petugas satpam itu dengan sopan. Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama ke sekujur tubuh wanita itu…
” Berapa? ” Tanya pria itu kepada Wanita itu.
” Setinggi-tingginya ” Jawab wanita itu dengan tegas.
” Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang? ” Kata pria itu kepada sang petugas satpam.
” Rp.. 6 juta, tuan ”
” Kalau begitu saya berani dengan harga Rp. 7 juta untuk semalam.” Wanita itu terdiam. Petugas satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawabanbagus dari wanita itu.
” Bagaimana? ” tanya pria itu.
”Saya ingin lebih tinggi lagi …” Kata wanita itu. Petugas satpam itu tersenyum kecut.
” Bawa pergi wanita ini. ” Kata pria itu kepada petugas satpam sambil menutup pintu kamar dengan keras.
” Nona, anda telah membuat saya kesal. Apakah anda benar benar ingin menjual? ”
” Tentu! ”
” Kalau begitu mengapa anda menolak harga tertinggi itu … ”
” Saya minta yang lebih tinggi lagi …”
Petugas satpam itu menghela napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang. Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya.
” Kalau begitu, kamu tunggu di tempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar yang lainnya. ”
Di lobi hotel, petugas satpam itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan yang biasa memesan wanita melaluinya. Sudahsekian lama, tak ada yang nampak dikenalnya. Namun, tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang berbicara lewat telepongenggamnya.
” Bukankah kemarin saya sudah kasih kamu uang 25 juta Rupiah. Apakah itu tidak cukup?
” Terdengar suara pria itu berbicara.Wajah pria itu nampak masam seketika
” Datanglah kemari. Saya tunggu. Saya kangen kamu. Kan sudah seminggu lebih kita engga ketemu, ya sayang?! ”
Kini petugas satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang berbicara dengan wanita. Kemudian, dilihatnya, pria itu menutup teleponnya. Ada kekesalan di wajahpria itu. Dengan tenang, petugas satpam itu berkata kepada Pria itu:
” Pak, apakah anda butuh wanita … ??? ” Pria itu menatap sekilas kearah petugas satpam dan kemudian memalingkan wajahnya.
” Ada wanita yang duduk disana, ” Petugas satpam itu menujuk kearah wanita tadi. Petugas satpam itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini.
“Dia masih perawan..” Pria itu mendekati petugas satpam itu. Wajah mereka hanya berjarak setengah meter.
” Benarkah itu? ”
” Benar, pak. ”
” Kalau begitu kenalkan saya dengan wanita itu … ”
” Dengan senang hati. Tapi, pak …Wanita itu minta harga setinggi tingginya.” ‘
” Saya tidak peduli … ” Pria itu menjawab dengan tegas. Pria itu menyalami hangat wanita itu.
” Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang seriuslah ….” Kata petugas satpam itu dengan nada kesal.
” Mari kita bicara di kamar saja.” Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas satpam itu. Wanita itu mengikuti pria itu menuju
kamarnya.
Di dalam kamar …” Beritahu berapa harga yang kamu minta? ”
” Seharga untuk kesembuhan ibu saya dari penyakit ”
” Maksud kamu? ”
” Saya ingin menjual satu satunya harta dan kehormatan saya untuk kesembuhan ibu saya. Itulah cara saya berterima kasih …. ”
” Hanya itu …”
” Ya …! ”
Pria itu memperhatikan wajah wanita itu.. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya. Tidak pula
menjual penderitaannya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini
sadar, bahwa di hadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi dari kehormatan sebuah perawan bagi wanita. Yaitu keteguhan
untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa sesal.. Wanta ini tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa dia pergi. Ada
kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi. Bahwa kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan cara-cara terhormat.
” Siapa nama kamu? ”
” Itu tidak penting. Sebutkanlah harga yang bisa bapak bayar … ” Kata wanita itu
” Saya tak bisa menyebutkan harganya. Karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar. ”
”Kalau begitu, tidak ada kesepakatan! ”
” Ada ! ” Kata pria itu seketika.
” Sebutkan! ”
” Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu.Terimalah uang ini. Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa ibumu
ke rumah sakit. Dan sekarang pulanglah … ” Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.
” Saya tidak mengerti …”
” Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya .Dia menikmati semua pemberian saya tapi dia tak pernah berterima kasih. Selalu memeras. Sekali saya memberi maka selamanya dia selalu meminta. Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terima kasih dari seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orang tuanya. Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar …”
” Dan, apakah bapak ikhlas….? ”
” Apakah uang itu kurang? ”
” Lebih dari cukup, pak … ”
” Sebelum kamu pergi, boleh saya bertanya satu hal? ”
” Silahkan …”
” Mengapa kamu begitu beraninya … ”
” Siapa bilang saya berani. Saya takut pak …Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk membawa ibu saya ke rumah sakit dan semuanya gagal. Ketika saya mengambil keputusan untuk menjual kehormatan saya maka itu bukanlah karena dorongan nafsu. Bukan pula pertimbangan akal saya yang `bodoh` … Saya hanya bersikap dan berbuat untuk sebuah keyakinan … ”
” Keyakinan apa? ”
” Jika kita ikhlas berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhan lah yang akan menjaga kehormatan kita …. ” Wanita itu kemudian melangkah
keluarkamar.
Sebelum sampai di pintu wanita itu berkata: ” Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini … ”
” Kesadaran… ”
… . .Di sebuah rumah di pemukiman kumuh. Seorang ibu yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.
” Kamu sudah pulang, nak ”
” Ya, bu … ”
” Kemana saja kamu, nak … ???”
” Menjual sesuatu, bu … ”
” Apa yang kamu jual?” Ibu itu menampakkan wajah keheranan. Tapi wanita muda itu hanya tersenyum …Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situasi yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual adalah keseharian yang tak bisa dielakan.. Tapi Tuhan selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan.
….
” Kini saatnya ibu untuk berobat … ”
Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata: ” Tuhan telah membeli yang saya jual… ”.
Taksi yang tadi ditumpanginya dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya ke dalam taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi:
” Antar kami kerumah sakit …”