FROM: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3952269
TS: Rickyhardianto
Gan andaikan kita dan Tuhan bisa chatting mungkin ini dialog pembicaraan kita denga-NYA
-Connecting to Heaven & Earth Messenger-
-TUHAN has sign in-
TUHAN :
Kamu memanggilKu ?
AKU :
Memanggilmu?
Tidak.. Ini siapa ya?
TUHAN :
Ini TUHAN.
Aku mendengar doamu.
Jadi Aku ingin berbincang-bincang denganmu.
AKU :
Ya, saya memang sering berdoa, hanya agar saya merasa lebih baik.
Tapi sekarang saya sedang sibuk, sangat sibuk .
TUHAN :
Sedang sibuk apa? Semut juga sibuk.
AKU :
Nggak tau ya.
Yang pasti saya tidak punya waktu luang sedikitpun.
Hidup jadi seperti diburu-buru.
Setiap waktu telah menjadi waktu sibuk.
TUHAN :
Benar sekali.
Aktivitas memberimu kesibukan.
Tapi produktivitas memberimu hasil.
Aktivitas memakan waktu, produktivitas membebaskan waktu.
AKU :
Saya mengerti itu.
Tapi saya tetap tidak dapat menghindarinya.
Sebenarnya, saya tidak mengharapkan Tuhan mengajakku chatting seperti ini.
TUHAN :
Aku ingin memecahkan masalahmu dengan waktu, dengan memberimu beberapa petunjuk.
Di era Internet ini, Aku ingin menggunakan medium yang lebih nyaman untukmu daripada mimpi misalnya.
AKU :
OKE, sekarang beritahu saya, mengapa hidup jadi begitu rumit?
TUHAN :
Berhentilah menganalisa hidup.
Jalani saja.
Analisalah yang membuatnya jadi rumit.
AKU :
Kalau begitu mengapa kami manusia tidak pernah merasa senang?
TUHAN :
Hari ini adalah Hari esok yang kamu khawatirkan kemarin.
Kamu merasa khawatir karena kamu menganalisa.
Merasa khawatir menjadi kebiasaanmu.
Karena itulah kamu tidak pernah merasa senang.
AKU :
Tapi bagaimana mungkin Kita tidak khawatir jika Ada begitu banyak ketidakpastian.
TUHAN :
Ketidakpastian itu tidak bisa dihindari.
Tapi kekhawatiran adalah sebuah pilihan.
AKU :
Tapi begitu banyak rasa sakit karena ketidakpastian.
TUHAN :
Rasa sakit tidak bisa dihindari,
Tetapi penderitaan adalah sebuah pilihan.
AKU :
Jika penderitaan itu pilihan, mengapa orang baik selalu menderita?
TUHAN :
Intan tidak dapat diasah tanpa gesekan.
Emas tidak dapat dimurnikan tanpa api.
Orang baik tidak dapat melewati rintangan, tanpa menderita.
Dengan pengalaman itu hidup mereka menjadi lebih baik, bukan sebaliknya.
AKU :
Maksudnya pengalaman pahit itu berguna?
TUHAN :
Ya.
Dari segala sisi, pengalaman adalah guru yang keras.
Guru pengalaman memberi ujian dulu, baru pemahamannya.
AKU :
Tetapi, mengapa kami harus melalui semua ujian itu?
Mengapa kami tidak dapat hidup bebas dari masalah?
TUHAN :
Masalah adalah rintangan yang ditujukan untuk meningkatkan kekuatan mental.
Kekuatan dari dalam diri bisa keluar melalui perjuangan dan rintangan, bukan dari berleha-leha.
AKU :
Sejujurnya, di tengah segala persoalan ini, kami tidak tahu kemana harus melangkah…
TUHAN :
Jika kamu melihat ke luar, maka kamu tidak akan tahu kemana kamu melangkah.
Lihatlah ke dalam.
Melihat ke luar, kamu bermimpi. Melihat ke dalam, kamu terjaga.
Mata memberimu penglihatan. Hati memberimu arah.
AKU :
Kadang-kadang ketidakberhasilan membuatku menderita.
Apa yang dapat saya lakukan?
TUHAN :
Keberhasilan adalah ukuran yang dibuat oleh orang lain.
Kepuasan adalah ukuran yang dibuat olehmu sendiri.
Mengetahui tujuan perjalanan akan terasa lebih memuaskan daripada mengetahui bahwa kau sedang berjalan.
Bekerjalah dengan kompas, biarkan orang lain berkejaran dengan waktu.
AKU :
Di dalam saat-saat sulit, bagaimana saya bisa tetap termotivasi?
TUHAN :
Selalulah melihat sudah berapa jauh kamu berjalan, daripada masih berapa jauh kamu harus berjalan.
Selalu hitung yang harus kamu syukuri, jangan hitung apa yang tidak kamu peroleh.
AKU :
Apa yang menarik dari manusia?
TUHAN :
Jika menderita, mereka bertanya “Mengapa harus aku?”.
Jika mereka bahagia, tidak Ada yang pernah bertanya “Mengapa harus aku?”
AKU :
Kadangkala saya bertanya, siapa saya, mengapa saya di sini?
TUHAN :
Jangan mencari siapa kamu, tapi tentukanlah ingin menjadi apa kamu.
Berhentilah mencari mengapa saya di sini.
Ciptakan tujuan itu.
Hidup bukanlah proses pencarian, tapi sebuah proses penciptaan.
AKU :
Bagaimana saya bisa mendapatkan yang terbaik dalam hidup ini?
TUHAN :
Hadapilah masa lalumu tanpa penyesalan.
Peganglah saat ini dengan keyakinan.
Siapkan masa depan tanpa rasa takut.
AKU :
Pertanyaan terakhir, Tuhan.
Seringkali saya merasa doa-doaku tidak dijawab.
TUHAN :
Tidak Ada DOA yang tidak dijawab.
Seringkali jawabannya adalah TIDAK.
AKU :
Terima kasih Tuhan atas chatting yang indah ini.
TUHAN :
Oke.
Teguhlah dalam iman, dan buanglah rasa takut.
Hidup adalah misteri untuk dipecahkan, bukan masalah untuk diselesaikan.
Percayalah padaKu.
Hidup itu indah jika kamu tahu cara untuk hidup.
-TUHAN has signed out-
Tambahan dari saya (Katon): jadi, kalau doa kita ingin dijabah oleh Tuhan kita harus yakin bahwa doa kita akan dikabulkan-Nya. Jika doa kita masih tidak dikabulkan, berarti Tuhan tahu yang terbaik untuk umat-Nya atau mungkin saat berdoa terselip sedikit rasa takabur dalam hati kita. Atau mungkin doa kita akan dikabulkan suatu saat nanti (disaat yang tepat).
Feel Free To Read It
Kami Datang... Belajar... Dan Melayani
We Came... Learn.. And Serve
Jumat, 26 November 2010
TUHAN memang ada
Ada seorang pemuda yang lama sekolah di negeri paman Sam kembali ketanah air. Sesampainya dirumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang Guru Agama, Kyai atau siapapun yang bisa menjawab 3 pertanyaannya.
Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang yang dimaksud tersebut.
Pemuda: Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Pemuka Agama : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda. Pemuda: Anda yakin? Sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Pemuka Agama : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan:
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya!
2. Apakah yang dinamakan takdir?
3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan, sebab mereka memiliki unsur yang sama.
Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba Pemuka Agama tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.
(Pemuda sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?
Pemuka Agama : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
Pemuka Agama : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit.
Pemuka Agama : Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
Pemuda: Ya
Pemuka Agama : Tunjukan pada saya wujud sakit itu !
Pemuda: Saya tidak bisa.
Pemuka Agama : Itulah jawaban pertanyaan pertama: kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
Pemuka Agama : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda: Tidak.
Pemuka Agama : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
Pemuda: Tidak.
Pemuka Agama : Itulah yang dinamakan Takdir.
Pemuka Agama : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakanuntuk menampar anda?
Pemuda: kulit.
Pemuka Agama : Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda: kulit.
Pemuka Agama : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: sakit.
Pemuka Agama : Walaupun Setan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, jika
Tuhan berkehendak maka Neraka akan menjadi tempat menyakitkan untuk setan
Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang yang dimaksud tersebut.
Pemuda: Anda siapa? Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Pemuka Agama : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda. Pemuda: Anda yakin? Sedang Profesor dan banyak orang pintar saja tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Pemuka Agama : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
Pemuda: Saya punya 3 buah pertanyaan:
1. Kalau memang Tuhan itu ada, tunjukan wujud Tuhan kepada saya!
2. Apakah yang dinamakan takdir?
3. Kalau setan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat setan, sebab mereka memiliki unsur yang sama.
Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba Pemuka Agama tersebut menampar pipi si Pemuda dengan keras.
(Pemuda sambil menahan sakit): Kenapa anda marah kepada saya?
Pemuka Agama : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 buah pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
Pemuda: Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
Pemuka Agama : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: Tentu saja saya merasakan sakit.
Pemuka Agama : Jadi anda percaya bahwa sakit itu ada?
Pemuda: Ya
Pemuka Agama : Tunjukan pada saya wujud sakit itu !
Pemuda: Saya tidak bisa.
Pemuka Agama : Itulah jawaban pertanyaan pertama: kita semua merasakan keberadaan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
Pemuka Agama : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda: Tidak.
Pemuka Agama : Apakah pernah terpikir oleh anda akan menerima sebuah tamparan dari saya hari ini?
Pemuda: Tidak.
Pemuka Agama : Itulah yang dinamakan Takdir.
Pemuka Agama : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakanuntuk menampar anda?
Pemuda: kulit.
Pemuka Agama : Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda: kulit.
Pemuka Agama : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda: sakit.
Pemuka Agama : Walaupun Setan terbuat dari api dan Neraka terbuat dari api, jika
Tuhan berkehendak maka Neraka akan menjadi tempat menyakitkan untuk setan
Menurut Anda dimana letak kebahagiaan itu???
Seorang petani dan istrinya bergandengan tangan menyusuri jalan sepulang dari sawah sambil diguyur air hujan.Lewatlah sebuah motor di depan mereka.Berkatalah petani ini pada istrinya:"Lihatlah Bu, betapa bahagianya suami istri yang naikmotor itu,meskipun mereka juga kehujanan,tapi mereka bisa cepat sampai di rumah.Tidak seperti kita yang harus lelah berjalan untuk sampai kerumah.
"Sementara itu, pengendara sepeda motor dan istrinya yang sedangberboncengan di bawah derasnya air hujan, melihat sebuah mobil pick uplewat di depan mereka.Pengendara motor itu berkata kepada istrinya:"Lihat bu, betapa bahagianya orang yang naik mobil itu.Mereka tidak perlu kehujanan seperti kita.
"Di dalam mobil pick up yang dikendarai sepasang suami istri, terjadi perbincangan, ketika sebuah mobil sedan Mercy lewat di hadapan mereka:"Lihatlah bu, betapa bahagia orang yang naik mobil bagus itu. Mobil itu pasti nyaman dikendarai, tidak seperti mobil kita yang sering mogok.
"Pengendara mobil Mercy itu seorang pria kaya, dan ketika dia melihat sepasang suami istri yang berjalan bergandengan tangan di bawah guyuranair hujan, pria kaya itu berkata dalam hatinya:"Betapa bahagianya suami istri itu.Mereka dengan mesranya berjalan bergandengan tangan sambil menyusuri indahnya jalan di pedesaan ini.Sementara aku dan istriku tidak pernah punya waktu untuk berdua karena kesibukan kami masing masing.
"Kebahagiaan tak akan pernah kau miliki jika kau hanya melihat kebahagiaan milik orang lain, dan selalu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain.
Bersyukurlah atas hidupmu supaya kau tahu di mana kebahagiaan itu berada.
Kebesaran Hati Seorang Ibu
Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan, tahun berapaan gue udeh lupa. Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronic.
Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan.
Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.
Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.
Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan routine layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega business yang
bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan." jawab A be.
Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).
Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun.
Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun
atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. " Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi".
Setelah sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.
Ketika membaca kisah ini dimedia cetak, saya sempat menangis karena tidak sempat bersujud di hadapan Mamaku. Mamaku telah meninggal 3 th lebih saat itu.
Teman2 yang masih punya Ibu (Mama atau Mami) di rumah, biar bagaimanapun kondisinya, segera bersujud di hadapannya dan berilah yang terbaik buat hidup orang tua kita Selagi masih ada waktu.
Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan.
Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.
Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.
Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan routine layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap kali ada teman atau kolega business yang
bertanya siapa wanita cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan." jawab A be.
Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).
Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka sedikitpun.
Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun
atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. " Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi".
Setelah sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.
Ketika membaca kisah ini dimedia cetak, saya sempat menangis karena tidak sempat bersujud di hadapan Mamaku. Mamaku telah meninggal 3 th lebih saat itu.
Teman2 yang masih punya Ibu (Mama atau Mami) di rumah, biar bagaimanapun kondisinya, segera bersujud di hadapannya dan berilah yang terbaik buat hidup orang tua kita Selagi masih ada waktu.
Kasih Seorang Teman
Suatu pagi yang sunyi di Korea, di suatu desa
kecil, ada sebuah bangunan kayu mungil yang
atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah
yatim piatu di mana banyak anak tinggal akibat
orang tua mereka meninggal dalam perang. Tiba-
tiba, kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi
mortir yang jatuh di atas rumah yatim piatu itu.
Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-
kepingan seng mental ke seluruh ruangan
sehingga membuat banyak anak yatim piatu
terluka. Ada seorang gadis kecil yang terluka di
bagian kaki oleh kepingan seng tersebut, dan
kakinya hampir putus. Ia terbaring di atas puing-
puing ketika ditemukan, P3K segera dilakukan dan
seseorang dikirim dengan segera ke rumah sakit
terdekat untuk meminta pertolongan.
Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai
memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter
melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa
pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis itu
secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip
yatim piatu untuk mengetahui apakah ada orang
yang memiliki golongan darah yang sama.
Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai
memanggil nama-nama anak yang memiliki
golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu.
Kemudian beberapa menit kemudian, setelah
terkumpul anak-anak yang memiliki golongan
darah yang sama, dokter berbicara kepada grup itu
dan perawat menerjemahkan, "Apakah ada di
antara kalian yang bersedia memberikan darahnya
utk gadis kecil ini?" Anak-anak tersebut tampak
ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali
lagi dokter itu memohon, "Tolong, apakah ada di
antara kalian yang bersedia memberikan darahnya
utk teman kalian, karena jika tidak, ia akan
meninggal!" Akhirnya, ada seorang bocah laki-laki
di belakang mengangkat tangannya dan perawat
membaringkannya di ranjang untuk
mempersiapkan proses transfusi darah.
Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk
membersihkannya, bocah itu mulai
gelisah. "Tenang saja," kata perawat itu, "Tidak
akan sakit kok." Lalu dokter mulai memasukan
jarum, ia mulai menangis. "Apakah sakit?"
tanyadokter itu. Tetapi bocah itu malah menangis
lebih kencang. "Aku telah menyakiti bocah ini!"
kata dokter itu dalam hati dan mencoba untuk
meringankan sakit bocah itu dengan
menenangkannya, tetapi tidak ada gunanya.
Setelah beberapa lama, proses transfusi telah
selesai dan dokter itu minta perawat untuk
bertanya kepada bocah itu. "Apakah sakit?"
Bocah itu menjawab, "Tidak, tidak sakit."
"Lalu kenapa kamu menangis?", tanya dokter itu.
"Karena aku sangat takut untuk meninggal" jawab
bocah itu.
Dokter itu tercengang! "Kenapa kamu berpikir
bahwa kamu akan meninggal?"
Dengan air mata di pipinya, bocah itu
menjawab, "Karena aku kira untuk menyelamatkan
gadis itu aku harus menyerahkan seluruh
darahku!"
Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian ia
bertanya, "Tetapi jika kamu berpikir bahwa kamu
akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk
memberikan darahmu?"
Sambil menangis ia berkata, "Karena ia adalah
temanku, dan aku mengasihinya!"
kecil, ada sebuah bangunan kayu mungil yang
atapnya ditutupi oleh seng-seng. Itu adalah rumah
yatim piatu di mana banyak anak tinggal akibat
orang tua mereka meninggal dalam perang. Tiba-
tiba, kesunyian pagi itu dipecahkan oleh bunyi
mortir yang jatuh di atas rumah yatim piatu itu.
Atapnya hancur oleh ledakan, dan kepingan-
kepingan seng mental ke seluruh ruangan
sehingga membuat banyak anak yatim piatu
terluka. Ada seorang gadis kecil yang terluka di
bagian kaki oleh kepingan seng tersebut, dan
kakinya hampir putus. Ia terbaring di atas puing-
puing ketika ditemukan, P3K segera dilakukan dan
seseorang dikirim dengan segera ke rumah sakit
terdekat untuk meminta pertolongan.
Ketika para dokter dan perawat tiba, mereka mulai
memeriksa anak-anak yang terluka. Ketika dokter
melihat gadis kecil itu, ia menyadari bahwa
pertolongan yang paling dibutuhkan oleh gadis itu
secepatnya adalah darah. Ia segera melihat arsip
yatim piatu untuk mengetahui apakah ada orang
yang memiliki golongan darah yang sama.
Perawat yang bisa berbicara bahasa Korea mulai
memanggil nama-nama anak yang memiliki
golongan darah yang sama dengan gadis kecil itu.
Kemudian beberapa menit kemudian, setelah
terkumpul anak-anak yang memiliki golongan
darah yang sama, dokter berbicara kepada grup itu
dan perawat menerjemahkan, "Apakah ada di
antara kalian yang bersedia memberikan darahnya
utk gadis kecil ini?" Anak-anak tersebut tampak
ketakutan, tetapi tidak ada yang berbicara. Sekali
lagi dokter itu memohon, "Tolong, apakah ada di
antara kalian yang bersedia memberikan darahnya
utk teman kalian, karena jika tidak, ia akan
meninggal!" Akhirnya, ada seorang bocah laki-laki
di belakang mengangkat tangannya dan perawat
membaringkannya di ranjang untuk
mempersiapkan proses transfusi darah.
Ketika perawat mengangkat lengan bocah untuk
membersihkannya, bocah itu mulai
gelisah. "Tenang saja," kata perawat itu, "Tidak
akan sakit kok." Lalu dokter mulai memasukan
jarum, ia mulai menangis. "Apakah sakit?"
tanyadokter itu. Tetapi bocah itu malah menangis
lebih kencang. "Aku telah menyakiti bocah ini!"
kata dokter itu dalam hati dan mencoba untuk
meringankan sakit bocah itu dengan
menenangkannya, tetapi tidak ada gunanya.
Setelah beberapa lama, proses transfusi telah
selesai dan dokter itu minta perawat untuk
bertanya kepada bocah itu. "Apakah sakit?"
Bocah itu menjawab, "Tidak, tidak sakit."
"Lalu kenapa kamu menangis?", tanya dokter itu.
"Karena aku sangat takut untuk meninggal" jawab
bocah itu.
Dokter itu tercengang! "Kenapa kamu berpikir
bahwa kamu akan meninggal?"
Dengan air mata di pipinya, bocah itu
menjawab, "Karena aku kira untuk menyelamatkan
gadis itu aku harus menyerahkan seluruh
darahku!"
Dokter itu tidak bisa berkata apa-apa, kemudian ia
bertanya, "Tetapi jika kamu berpikir bahwa kamu
akan meninggal, kenapa kamu bersedia untuk
memberikan darahmu?"
Sambil menangis ia berkata, "Karena ia adalah
temanku, dan aku mengasihinya!"
Rabu, 24 November 2010
Jonathan, Si Burung Camar
Alkisah tentang seekor burung camar yang bernama „Jonathan‟. Burung camar hidup
dalam koloni yang besar di bebatuan karang di samudra. Dalam kehidupan koloni camar
terdapat suatu rutinitas yang berjalan secara terus menerus setiap hari dari pagi hingga
petang. Mereka setiap hari terbang rendah mengikuti buritan kapal nelayan dan mulai
berebut ikan-ikan kecil atau remah-remah roti sisa para nelayan. Begitulah rutinitas yang
dilakukan oleh koloni burung camar.
Dalam rutinitas itu, si Jonathan mulai berpikir adakah cara lain untuk mendapatkan
makanan selain harus terbang rendah dan berebut setiap hari?. Jonathan mulai merasa
jenuh dan ia mulai tidak mau ikut kawanan camar terbang rendah dan berebut makanan.
Ia hanya berdiri diatas bebatuan sambil termenung. Ketika suatu hari ia melihat sebuah
bayangan di depannya, iapun mendongakkan kepalanya dan melihat diatas langit yang
tinggi seekor elang tengah terbang dengan gagah serta kecepatan yang tinggi. Jonathan
pun mulai bertanya-tanya dalam hati, „Bisa nggak ya…saya seekor burung camar terbang
tinggi serta cepat seperti seekor burung elang?‟
Pertanyaan ini terus merasuk ke dalam pikiran Jonathan. Kemudian ia mulai belajar
terbang tinggi sementara kawanan camar yang lain tetap menjalankan rutinitasnya. Setiap
hari ia belajar terbang tinggi dan kecepatan. Ia terus belajar terbang dari pagi dan baru
pulang pada petang hari. Sementara ia tidak memperdulikan kondisi tubuhnya yang
semakin kurus karena tidak makan selama beberapa hari. Melihat kondisi Jonathan, ayah
dan ibunya merasa kasihan dan menegur Jonathan, ” Nak, lihat tubuhmu yang kurus dan
lemah, untuk apa kamu belajar terbang seperti elang, ingatlah nak bahwa kamu ini burung
camar yang hanya bisa terbang rendah…besok kamu harus ikut bersama-sama untuk
berebut makanan, pikirkan baik-baik Jonathan!” Sepanjang malam Jonathan tidak bisa
tidur karena memikirkan kata-kata orang tuanya.
Keesokan harinya Jonathan memutuskan untuk menuruti saran orang tuanya dan mulai
pergi bersama kawanan burung camar untuk berebut ikan-ikan kecil dan remah-remah
roti sisa para nelayan serta pulang pada petang harinya. Selama seminggu penuh ia
menjalankan rutinitas sebagai burung camar, dan pada suatu pagi Jonathan teringat
kembali tentang burung elang. Jonathan hari itu kembali belajar terbang tinggi dan
kecepatan seperti elang. Jonathan terus berlatih dan berlatih selama sebulan penuh dan
pada saat ini ia telah mampu terbang tinggi dengan kecepatan seperti burung elang.
Pada suatu pagi tidak seperti biasa semua kawanan burung camar tidak pergi ke laut
mencari ikan-ikan kecil. Mereka berkumpul dan membentuk lingkaran. Jonathan bingung
melihat situasi tersebut, kemudian sang Tetua maju ke tengah lingkaran dan berkata,
“Wahai warga burung camar semua, hari ini kita berkumpul bersama untuk menyaksikan
dan melakukan pengadilan terhadap pelanggaran Norma dan Etika nenek moyang kita
sebagai burung camar….(sang Tetua terdiam sejenak dan semua kawanan hening)…..
Jonathan!… … Kamu maju ketengah lingkaran!.. …” pekik sang Tetua.
Jonathan sangat kaget dan kebingungan, kemudian sang Tetua berkata kembali, “Kamu
telah terbukti melanggar Norma dan Etika serta menyimpang dari kodrat kamu sebagai
burung Camar!” Jonathan bertanya, “Apa salahku wahai Tetua?” …… “Apa salahmu?….
Kamu telah membuat malu bangsa burung camar, kamu tidak mau mengikuti cara burung
camar yaitu terbang rendah dan berebut makanan setiap hari…..bahkan lebih memalukan
lagi bahwa kamu mencoba belajar terbang seperti burung elang!” pekik sang Tetua.
Kemudian si Jonathan berkata,” Apakah salah jika saya bisa terbang tinggi seperti burung
elang dan terbang malam seperti burung hantu sehingga untuk memperoleh makanan saya
tidak perlu berebut dengan teman-teman, saudara bahkan orang tuaku sendiri?, tidakkah
itu lebih baik?” Suasana menjadi tegang dan terdengar teriakan “huuuuuuuu, buang saja
dia, usir dari kawanan, mencemarkan nama baik burung camar…. memalukan… .. usir…
usir… usir!”
Sang Tetua pun berkata, ” Baiklah Jonathan, kalau kamu tetap memilih cara kamu dan
tidak mau mengikuti Norma dan Etika kita sebagai burung camar maka kamu harus
keluar dari sini….Pengawal, bawa si Jonathan ke tempat pembuangan!! !!!!!!”
Si Jonathan terlihat sedih dan ia memeluk ayah ibunya, mengucapkan selamat tinggal. Di
tempat pengasingan ia terus mengasah keterampilannya terbang tinggi dengan kecepatan.
Dan ternyata ia tidak sendiri, ia bertemu dengan beberapa ekor burung camar yang
memiliki tujuan yang sama dengannya. Dengan terbang tinggi seperti elang ternyata ia
menemukan berbagai jenis makanan seperti di padang rumput ia menemukan belalang,
capung, ulat yang lezat untuk disantap. Dengan terbang malam seperti burung hantu ia
bisa menikmati ikan-ikan kecil tanpa harus berebut dengan sesama burung camar.
Jonathan sangat bahagia karena ia bisa makan apa yang burung camar lain tidak bisa
makan karena mereka hanya bisa terbang rendah.
perubahan untuk kearah yang lebih baik memang susah dilakukan,banyak
tantangan,banyak hujatan,makian serta rasa pesimistis bagi mereka yang iri,dan mereka
yang terpaku pada sistem atau aturan yang itu-itu saja,maka dibutuhkan sikap seperti
jonathan untuk bisa merubah bangsa ini dari keterpurukan.
dalam koloni yang besar di bebatuan karang di samudra. Dalam kehidupan koloni camar
terdapat suatu rutinitas yang berjalan secara terus menerus setiap hari dari pagi hingga
petang. Mereka setiap hari terbang rendah mengikuti buritan kapal nelayan dan mulai
berebut ikan-ikan kecil atau remah-remah roti sisa para nelayan. Begitulah rutinitas yang
dilakukan oleh koloni burung camar.
Dalam rutinitas itu, si Jonathan mulai berpikir adakah cara lain untuk mendapatkan
makanan selain harus terbang rendah dan berebut setiap hari?. Jonathan mulai merasa
jenuh dan ia mulai tidak mau ikut kawanan camar terbang rendah dan berebut makanan.
Ia hanya berdiri diatas bebatuan sambil termenung. Ketika suatu hari ia melihat sebuah
bayangan di depannya, iapun mendongakkan kepalanya dan melihat diatas langit yang
tinggi seekor elang tengah terbang dengan gagah serta kecepatan yang tinggi. Jonathan
pun mulai bertanya-tanya dalam hati, „Bisa nggak ya…saya seekor burung camar terbang
tinggi serta cepat seperti seekor burung elang?‟
Pertanyaan ini terus merasuk ke dalam pikiran Jonathan. Kemudian ia mulai belajar
terbang tinggi sementara kawanan camar yang lain tetap menjalankan rutinitasnya. Setiap
hari ia belajar terbang tinggi dan kecepatan. Ia terus belajar terbang dari pagi dan baru
pulang pada petang hari. Sementara ia tidak memperdulikan kondisi tubuhnya yang
semakin kurus karena tidak makan selama beberapa hari. Melihat kondisi Jonathan, ayah
dan ibunya merasa kasihan dan menegur Jonathan, ” Nak, lihat tubuhmu yang kurus dan
lemah, untuk apa kamu belajar terbang seperti elang, ingatlah nak bahwa kamu ini burung
camar yang hanya bisa terbang rendah…besok kamu harus ikut bersama-sama untuk
berebut makanan, pikirkan baik-baik Jonathan!” Sepanjang malam Jonathan tidak bisa
tidur karena memikirkan kata-kata orang tuanya.
Keesokan harinya Jonathan memutuskan untuk menuruti saran orang tuanya dan mulai
pergi bersama kawanan burung camar untuk berebut ikan-ikan kecil dan remah-remah
roti sisa para nelayan serta pulang pada petang harinya. Selama seminggu penuh ia
menjalankan rutinitas sebagai burung camar, dan pada suatu pagi Jonathan teringat
kembali tentang burung elang. Jonathan hari itu kembali belajar terbang tinggi dan
kecepatan seperti elang. Jonathan terus berlatih dan berlatih selama sebulan penuh dan
pada saat ini ia telah mampu terbang tinggi dengan kecepatan seperti burung elang.
Pada suatu pagi tidak seperti biasa semua kawanan burung camar tidak pergi ke laut
mencari ikan-ikan kecil. Mereka berkumpul dan membentuk lingkaran. Jonathan bingung
melihat situasi tersebut, kemudian sang Tetua maju ke tengah lingkaran dan berkata,
“Wahai warga burung camar semua, hari ini kita berkumpul bersama untuk menyaksikan
dan melakukan pengadilan terhadap pelanggaran Norma dan Etika nenek moyang kita
sebagai burung camar….(sang Tetua terdiam sejenak dan semua kawanan hening)…..
Jonathan!… … Kamu maju ketengah lingkaran!.. …” pekik sang Tetua.
Jonathan sangat kaget dan kebingungan, kemudian sang Tetua berkata kembali, “Kamu
telah terbukti melanggar Norma dan Etika serta menyimpang dari kodrat kamu sebagai
burung Camar!” Jonathan bertanya, “Apa salahku wahai Tetua?” …… “Apa salahmu?….
Kamu telah membuat malu bangsa burung camar, kamu tidak mau mengikuti cara burung
camar yaitu terbang rendah dan berebut makanan setiap hari…..bahkan lebih memalukan
lagi bahwa kamu mencoba belajar terbang seperti burung elang!” pekik sang Tetua.
Kemudian si Jonathan berkata,” Apakah salah jika saya bisa terbang tinggi seperti burung
elang dan terbang malam seperti burung hantu sehingga untuk memperoleh makanan saya
tidak perlu berebut dengan teman-teman, saudara bahkan orang tuaku sendiri?, tidakkah
itu lebih baik?” Suasana menjadi tegang dan terdengar teriakan “huuuuuuuu, buang saja
dia, usir dari kawanan, mencemarkan nama baik burung camar…. memalukan… .. usir…
usir… usir!”
Sang Tetua pun berkata, ” Baiklah Jonathan, kalau kamu tetap memilih cara kamu dan
tidak mau mengikuti Norma dan Etika kita sebagai burung camar maka kamu harus
keluar dari sini….Pengawal, bawa si Jonathan ke tempat pembuangan!! !!!!!!”
Si Jonathan terlihat sedih dan ia memeluk ayah ibunya, mengucapkan selamat tinggal. Di
tempat pengasingan ia terus mengasah keterampilannya terbang tinggi dengan kecepatan.
Dan ternyata ia tidak sendiri, ia bertemu dengan beberapa ekor burung camar yang
memiliki tujuan yang sama dengannya. Dengan terbang tinggi seperti elang ternyata ia
menemukan berbagai jenis makanan seperti di padang rumput ia menemukan belalang,
capung, ulat yang lezat untuk disantap. Dengan terbang malam seperti burung hantu ia
bisa menikmati ikan-ikan kecil tanpa harus berebut dengan sesama burung camar.
Jonathan sangat bahagia karena ia bisa makan apa yang burung camar lain tidak bisa
makan karena mereka hanya bisa terbang rendah.
perubahan untuk kearah yang lebih baik memang susah dilakukan,banyak
tantangan,banyak hujatan,makian serta rasa pesimistis bagi mereka yang iri,dan mereka
yang terpaku pada sistem atau aturan yang itu-itu saja,maka dibutuhkan sikap seperti
jonathan untuk bisa merubah bangsa ini dari keterpurukan.
Cinta Yang Tak Pernah Padam Selama 60 Tahun
Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di suatu hari yang dingin, kakiku tersandung
sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku
memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya.
Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang
sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada
amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa
menemukan petunjuk.
Lalu aku baca tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat
itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan
bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, “Sayangku Michael”, yang
menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat
itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah
melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani
oleh Hannah. Surat itu begitu indah.
etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila
aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang
ada pada amplop itu. “Operator,” kataku pada bagian peneragan, “Saya mempunyai
permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang
saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon
atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?”
Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak
begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai
nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda.”
Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang
saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku
menunggu beberapa menit.
Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, “Ada orang yang ingin berbicara dengan
anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia
mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini
dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang
lalu!” “Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang aku
ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu,” kata
wanita itu. “Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak
mereka, Hannah, berada.” Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku
menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud
sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah
dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor
yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan
bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.
“Semua ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-
repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis
lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat
Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, “Ya,
Hannah memang tinggal bersama kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10
malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. “Ok,” kata pria itu agak bersungut-
sungut, “bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.”
Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung
panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di
pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku
dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat
dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku
temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop
surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas
dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir
dengan Michael.” Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan
lembut, “Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku
menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si
aktor itu.” “Ya,” lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. “Bila kau
bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,…….”
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ……katakan, aku masih
mencintainya. Tahukah kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya
mengalir, “aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang
bisa menyamai Michael.” Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat
tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di
sana menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?” Aku sampaikan bahwa
Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang
pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah
menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini.” Aku
keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga
itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu
persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku
sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.”
“Siapakah Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah penghuni
lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike
Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar.” Aku berterima
kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di
sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan
bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika
sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia
suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan.” Kami menuju ke
satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria
membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan
dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan
berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata, “Tuan muda yang baik ini telah
menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?” Aku menyerahkan dompet itu pada
Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi
sore. Aku akan memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus
menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu
dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.”
Senyumnya langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca,
aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.” Wajahnya tiba-tiba pucat. “Hannah? Kau
tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu?
Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik
seperti saat anda mengenalnya,” kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta,
“Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.”
Ia menggenggam tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat
surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu
mencintainya.”
“Michael,” kataku, “Ayo ikuti aku.” Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-
lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan
kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat
mendekatinya perlahan.
“Hannah,” kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di
sampingku di pintu masuk. “Apakah anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan
kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael
berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih
ingat padaku?” Hannah gemetar, “Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!”
Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku
meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. “Lihatlah,” kataku.
“Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.”
Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo
itu. “Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu
mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!” Dan pernikahan itu, pernikahan yang
indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut
merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik.
Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku
sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.
Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun
bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang
sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun
sebuah dompet yang tampaknya terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku
memungut dan melihat isi dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya.
Tapi, dompet itu hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang
sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang tertera pada
amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka isinya sambil berharap bisa
menemukan petunjuk.
Lalu aku baca tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu. Surat
itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru lembut yang berhiaskan
bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di sana, “Sayangku Michael”, yang
menunjukkan kepada siapa surat itu ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat
itu menyatakan bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah
melarangnya. Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu ditandatangani
oleh Hannah. Surat itu begitu indah.
etapi tetap saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin bila
aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor telepon alamat yang
ada pada amplop itu. “Operator,” kataku pada bagian peneragan, “Saya mempunyai
permintaan yang agak tidak biasa. sedang berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang
saya temukan di jalan. Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon
atas alamat yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?”
Operator itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya tidak
begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata, “Kami mempunyai
nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa memberitahukannya pada anda.”
Demi kesopanan, katanya, ia akan menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang
saya temukan dan menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku
menunggu beberapa menit.
Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, “Ada orang yang ingin berbicara dengan
anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita yang ada di ujung telepon sana, apakah ia
mengetahui seseorang bernama Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini
dari keluarga yang memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang
lalu!” “Apakah anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang aku
ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa tahun lalu,” kata
wanita itu. “Mungkin, bila anda menghubunginya mereka bisa mencaritahu dimana anak
mereka, Hannah, berada.” Lalu ia memberiku nama panti jompo tersebut. Ketika aku
menelepon ke sana, mereka mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud
sudah lama meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah
dimana anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon nomor
yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang wanita mengatakan
bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.
“Semua ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau repot-
repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan surat yang ditulis
lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun aku menelepon panti jompo tempat
Hannah sekarang berada. Seorang pria yang menerima teleponku mengatakan, “Ya,
Hannah memang tinggal bersama kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10
malam, aku meminta agar bisa menemui Hannah. “Ok,” kata pria itu agak bersungut-
sungut, “bila anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.”
Aku mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut. Gedung
panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas malam menyambutku di
pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang tengah, perawat itu memperkenalkan aku
dengan Hannah. Ia tampak manis, rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat
dan matanya bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku
temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia melihat amplop
surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di sudut kiri, ia menarik nafas
dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat ini adalah hubunganku yang terakhir
dengan Michael.” Matanya memandang jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan
lembut, “Aku amat-amat mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku
menganggap aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery, si
aktor itu.” “Ya,” lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar biasa. “Bila kau
bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu memikirkannya, Dan,…….”
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil menggigit bibir ia berkata, ……katakan, aku masih
mencintainya. Tahukah kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya
mengalir, “aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun yang
bisa menyamai Michael.” Aku berterima kasih pada Hannah dan mengucapkan selamat
tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika melangkah keluar pintu, penjaga di
sana menyapa, “Apakah wanita tua itu bisa membantu anda?” Aku sampaikan bahwa
Hannah hanya memberikan sebuah petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang
pemilik dompet ini. Aku pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah
menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini.” Aku
keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah disisi-sisinya. Ketika penjaga
itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu
persis dompet dengan benang merah terang itu.Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku
sendiri pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.”
“Siapakah Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah penghuni
lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti, itu adalah dompet Mike
Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang berjalan-jalan di luar.” Aku berterima
kasih pada penjaga itu dan segera lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di
sana apa yang telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan
bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum tertidur. Ketika
sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir ia masih berada di ruang tengah. Ia
suka membaca di malam hari. Ia adalah Pak tua yang menyenangkan.” Kami menuju ke
satu-satunya ruangan yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria
membaca buku. Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan
dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku belakangnya dan
berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata, “Tuan muda yang baik ini telah
menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet anda?” Aku menyerahkan dompet itu pada
Pak Goldstein. Ia tersenyum gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi
sore. Aku akan memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus
menceritakan sesuatu pada anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu
dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.”
Senyumnya langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca,
aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.” Wajahnya tiba-tiba pucat. “Hannah? Kau
tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia masih secantik dulu?
Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik saja, dan masih tetap secantik
seperti saat anda mengenalnya,” kataku lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta,
“Maukah anda mengatakan padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.”
Ia menggenggam tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat
surat itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku selalu
mencintainya.”
“Michael,” kataku, “Ayo ikuti aku.” Lalu kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-
lorong gedung itu sudah gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan
kami menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV. Perawat
mendekatinya perlahan.
“Hannah,” kata perawat itu lembut. Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di
sampingku di pintu masuk. “Apakah anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan
kacamatanya, melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael
berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Michael. Apakah kau masih
ingat padaku?” Hannah gemetar, “Michael! Aku tak percaya. Michael! Kau! Michaelku!”
Michael berjalan perlahan ke arah Hannah. Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku
meninggalkan mereka dengan air mata menitik di wajah kami. “Lihatlah,” kataku.
“Lihatlah, bagaimana Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.”
Sekitar tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti jompo
itu. “Apakah anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian di hari Minggu
mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!” Dan pernikahan itu, pernikahan yang
indah. Semua orang di panti jompo itu mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut
merayakan pesta. Hannah mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik.
Sedangkan Michael mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku
sebagai wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.
Dan bila anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79 tahun
bertingkah seperti anak remaja, anda harus melihat pernikahan pasangan ini. Akhir yang
sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak pernah padam selama 60 tahun
Langganan:
Postingan (Atom)