Feel Free To Read It

Kami Datang... Belajar... Dan Melayani
We Came... Learn.. And Serve

Sabtu, 04 Desember 2010

Kemuliaan Hati

Tak peduli apa pun karir yang kita miliki, kita harus memandang penting moral dan dengan serius dan mengikuti standar tinggi dalam beretika, karena itu adalah nilai dasar sebagai manusia.
Dalam sebuah buku berjudul Zhuan Falun tertulis, Kebajikan adalah terakumulasi dalam kehidupan sebelumnya, menjadi raja, pejabat, kaya dan kedudukan terhormat semua dihasilkan dari kebajikan. Tanpa kebajikan, tidak ada yang dapat diperoleh, kehilangan kebajikan berarti sirna segalanya. Oleh sebab itu, orang yang mengejar kekuasaan dan mencari kekayaan harus terlebih dahulu mengumpulkan kebajikan menanggung penderitaan dan melakukan perbuatan baik dapat mengumpulkan banyak kebajikan. Untuk itu haruslah mengerti prinsip sebab akibat, dengan memahami hal ini, maka pemerintah dan rakyat dapat mengendalikan hatinya masing-masing, dunia akan makmur dan damai.
Sebagai seorang yang berkultivasi, kebajikan adalah substansi putih yang benar-benar nyata, yang membawa berkah bagi seseorang. Karma hitam diperoleh ketika seseorang melakukan hal-hal buruk dan ini akan membawa kemalangan. Oleh karena itu, sebagai guru harus mengikuti etika seorang guru, seorang pengusaha harus mengikuti etika berbisnis, seorang dokter harus mengikuti etika medis, seorang pejabat harus mengikuti kode etik yang ada, dan sebagainya. Berikut ini adalah kisah tentang bagaimana seorang dokter terkenal bernama Mr. Wan Quan pada Dinasti Ming mengikuti etika medis dan melepaskan kebencian terhadap orang lain.
Mr. Wan Quan, dikenal juga sebagai Quanren dan Mizhai, adalah seorang dokter yang dihormati pada zaman Dinasti Ming. Ia lahir di Tahun Hongzhi ke-11 (1498 A.D.) (sekarang: Lotuian County, Provinsi Hubei). Tidak hanya sangat terampil di bidang kedokteran, tapi juga mengikuti etika medis yang tinggi. Dia perhatian dan pemaaf. Ketika ada orang yang mempunyai konflik dengannya dan orang ini sedang sakit, ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk mengobati mereka, memperlakukan mereka sama seperti pasien yang lain.
Mr. Wan Quan mempunyai sebuah konflik ketika masih muda dengan sesama penduduk kota bernama Mr. Hu Yuanxi. Mr. Hu mempunyai anak berusia empat tahun yang sedang menderita penyakit batuk darah yang sulit disembuhkan. Selama delapan bulan, Mr. Hu membawa anaknya berobat ke banyak dokter, tetapi tak satu pun dari mereka bisa menyembuhkan anaknya. Mr. Hu tidak punya pilihan selain meminta bantuan Mr. Wan Quan.
Mengikuti prinsip-prinsip menyelamatkan orang lain, melepaskan kebencian dan persoalan di masa lalu, Mr. Wan segera mulai mengobati putra Mr. Hu. Setelah diagnosa Mr. Wan mengatakan kepada Mr. Hu bahwa ia bisa menyembuhkan penyakit putranya, tapi membutuhkan waktu satu bulan. Setelah Mr. Wan memberikan lima dosis obat, anak Mr. Hu memperlihatkan peningkatan.
Namun, Mr. Hu Yuanxi khawatir Mr. Wan mungkin tidak mencoba sebaik-baiknya untuk mengobati anaknya disebabkan konflik mereka di masa lalu. Dia berpikir satu bulan adalah waktu yang lama dan itu menunjukkan Mr. Wan tidak benar-benar ingin membantunya, sehingga ia beralih ke dokter lain yaitu Mr. Wan Shao.
Beberapa orang berbicara dengan Mr. Wan Quan dan berkata, “Sejak Mr. Hu tidak ingin Anda mengobati putranya, sejak itu Anda seharusnya meninggalkannya sendirian dan tidak memperdulikanya. “Tapi Mr. Wan Quan menjawab, “Dia hanya memiliki satu anak. Tak seorang pun dapat menyembuhkan anaknya tetapi saya mampu menyembuhkanya. Jika saya pergi, Mr. Hu tidak akan datang untuk meminta bantuan lagi. Kemudian anaknya akan berada dalam bahaya. Jika anaknya meninggal, meskipun saya tidak membunuhnya, tapi Saya tetap bertanggung jawab. “Jadi, ia berkata,” Saya harus tinggal di sini melihat apa yang dokter lain lakukan. Jika apa yang mereka lakukan benar, saya akan pergi. Tetapi jika mereka melakukan sesuatu yang salah, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menghentikan mereka. Jika saya tidak bisa menghentikan mereka, maka saya akan pergi. ”
Ketika Mr. Wan Quan melihat resep yang diberikan Mr. Wan Shao, ia tahu itu bukan resep yang sesuai untuk anak itu, ini bisa berbahaya jika anak itu mengambilnya, maka ia mengarahkan untuk tidak memakai resep itu. Namun, Wan Shao menolak untuk mendengarkan dan bersikeras bahwa resepnya benar. Mr. Wan Quan dengan serius mengatakan kepada Shao, “Saya tidak ada masalah dengan Anda. Saya hanya prihatin pada anak itu. ”
Melihat tak seorang pun akan menerima saran yang dia berikan, Mr. Wan Quan memutuskan untuk pergi. Tetapi dia masih sangat khawatir dengan anak itu. Sebelum pergi, ia menyentuh kepala anak itu dengan lembut dan berkata kepada ayahnya, “Untuk permulaan biarkan dia mengambil dosis kecil dari obat baru dan Apa yang akan ia lakukan jika penyakitnya datang kembali? ”
Setelah diberikan secangkir kecil obat, gejala anak itu kembali bahkan lebih buruk daripada sebelumnya, persis seperti prediksi Mr. Wan Quan. Anak itu menangis, dan berkata ” Obat Mr. Wan Quan lebih baik. Dokter baru mencoba meracuni saya.”
Mr. Hu Yuanxi sangat menyesal dan pergi untuk meminta bantuan Mr. Wan Quan lagi. Mr. Wan Quan tidak membiarkan pengobatan dan sikap Mr. Hu sebelumnya mengganggu dirinya. Dia berkata kepada Mr. Hu, “Jika Anda mendengarkan saya sebelumnya, ini tidak akan terjadi. Sekarang jika Anda benar-benar ingin Saya mengobati anak Anda, Anda harus percaya pada Saya sepenuhnya. Tolong beri saya sebulan dan Saya akan merawatnya. ”
Mr. Hu Yuanxi memberikan anaknya untuk dirawat oleh Mr. Wan Quan. hanya butuh waktu 17 hari untuk anak itu pulih sepenuhnya. Keluarga Mr. Hu sangat berterima kasih kepada Mr. Wan Quan.

Kamis, 02 Desember 2010

Cinta dan Kebahagiaan

Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan bubur.
Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap sore, ibu selalu membungkukkan nbadan menyikat panci, setiap panci di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang w anita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.
Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkimpoian, tidak memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berpretasi dalam pelajaran.
Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam diam di sudut halaman.Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkimpoian.Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam perkimpoian ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkimpoian yang baik.Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkimpoian mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkimpoian yang bahagia?
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkimpoian, dan secara perlahan –lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkimpoian, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkimpoian sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati.
Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!
Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat tidak asing di telinga, dalam perkimpoian ayah dan ibu saya, ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.
Saya sedang mempertunjukkan kembali perkimpoian ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka.
Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya…Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkimpoiannya,
Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam mempertahankan perkimpoian, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
cara saya juga sama seperti ibu, perkimpoian saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkimpoian yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakianmu….dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya di atas meja buku,Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah daftar kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini, perkimpoian yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota .
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkimpoian, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkimpoian. Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkimpoian ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkimpoian, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkimpoian, maka menurut saya, setiap orang pantas dan layak memiliki sebuah perkimpoian yang bahagia, asalkan cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkimpoian yang baik, pasti dapat diharapkan.

Jendela Kehidupan

Dua orang pria, keduanya menderita sakit keras, sedang dirawat di sebuah kamar rumah sakit. Seorang diantaranya menderita suatu penyakit yang mengharuskannya duduk di tempat tidur selama satu jam di setiap sore untuk mengosongkan cairan dari paru-parunya. Kebetulan, tempat tidurnya berada tepat di sisi jendela satu-satunya yang ada di kamar itu. Sedangkan pria yang lain harus berbaring lurus di atas punggungnya.
Setiap hari mereka saling bercakap-cakap selama berjam-jam. Mereka membicarakan istri dan keluarga, rumah, pekerjaan, keterlibatan mereka di ketentaraan, dan tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi selama liburan.
Setiap sore, pria yang tempat tidurnya berada dekat jendela diperbolehkan untuk duduk, ia menceritakan tentang apa yang terlihat di luar jendela kepada rekan sekamarnya. Selama satu jam itulah, pria kedua merasa begitu senang dan bergairah membayangkan betapa luas dan indahnya semua kegiatan dan warna-warni indah yang ada di luar sana.
“Di luar jendela, tampak sebuah taman dengan kolam yang indah. Itik dan angsa berenang-renang cantik, sedangkan anak-anak bermain dengan perahu-perahu mainan. Beberapa pasangan berjalan bergandengan di tengah taman yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga berwarna-warni. Sebuah pohon tua besar menghiasi taman itu. Jauh di atas sana terlihat kaki langit kota yang mempesona. Suatu senja yang indah.”
Pria pertama itu menceritakan keadaan di luar jendela dengan detail, sedangkan pria yang lain berbaring memejamkan mata membayangkan semua keindahan pemandangan itu. Perasaannya menjadi lebih tenang, dalam menjalani kesehariannya di rumah sakit itu. Semangat hidupnya menjadi lebih kuat, percaya dirinya bertambah.
Pada suatu sore yang lain, pria yang duduk di dekat jendela menceritakan tentang parade karnaval yang sedang melintas. Meski pria yang kedua tidak dapat mendengar suara parade itu, namun ia dapat melihatnya melalui pandangan mata pria yang pertama yang menggambarkan semua itu dengan kata-kata yang indah.
Begitulah seterusnya, dari hari ke hari, dan satu minggu pun berlalu.
Suatu pagi perawat datang membawa sebaskom air hangat untuk mandi. Ia mendapati ternyata pria yang berbaring di dekat jendela itu telah meninggal dunia dengan tenang dalam tidurnya. Perawaat itu menjadi sedih lalu memanggil perawat lain untuk memindahkannya ke ruang jenazah. Kemudian pria yang kedua ini meminta pada perawat agar ia bisa dipindahkan ke tempat tidur di dekat jendela itu. Perawat itu menuruti kemauannya dengan senang hati dan mempersiapkan segala sesuatunya. Ketika semuanya selesai, ia meninggalkan pria tadi seorang diri dalam kamar.
Dengan perlahan dan kesakitan, pria ini memaksakan dirinya untuk bangun. Ia ingin sekali melihat keindahan dunia luar melalui jendela itu. Betapa senangnya, akhirnya ia bisa melihat sendiri dan menikmati semua keindahan itu. Hatinya tegang, perlahan ia menjengukkan kepalanya ke jendela di samping tempat tidurnya. Apa yang dilihatnya? Ternyata, jendela itu menghadap ke sebuah TEMBOK KOSONG!!!
Ia berseru memanggil perawat dan menanyakan apa yang membuat teman pria yang sudah wafat tadi bercerita seolah-olah melihat semua pemandangan yang luar biasa indah di balik jendela itu. Perawat itu menjawab bahwa sesungguhnya pria tadi adalah seorang buta bahkan tidak bisa melihat tembok sekalipun. “Barangkali ia ingin memberimu semangat hidup,” kata perawat itu.

Dendam Yang Sirna

Zhing membenci seseorang, dia juga mengatakan kepada anaknya yang berumur 5 tahun, “Seumur hidupmu engkau harus ingat sebuah nama Liang, dia adalah musuh kita berdua.”
Karena Liang, Zhing kehilangan suaminya, anaknya yang berumur 5 tahun kehilangan bapaknya.
Sebenarnya Liang, tidak bersalah, dia adalah petugas pemadam kebakaran tanpa sengaja menyebabkan suami Zhing terbunuh, sehingga dia harus dipenjara.
Liang ketika dibebaskan oleh pengadilan, dirinya berubah total, dia berhenti merokok dan minum minuman keras, lalu Liang datang meminta maaf kepada Zhing, dia berkata ingin membantu menyekolahkan anaknya.
Zhing ketika melihat Liang, seperti gila menarik bajunya dan memukulnya, memakinya sebagai pembunuh, dan akan mendapat karma, dia dan anaknya akan selalu mengingat dendam ini, dan akan membencinya seumur hidup. Akhirnya, menghadapi Zhing yang kehilangan akal sehat Liang tidak bisa berbuat apapun meninggalkan tempat itu.
Zhing setelah kehilangan suaminya ekonominya menjadi susah, akhirnya dia menikah lagi. Tetapi tidak berapa lama kemudian suami keduanya karena kecelakaan kakinya menjadi lumpuh, hanya bisa bekerja sebagai pedagang  kaki lima menjual buah-buahan, perekonominya sekali lagi mengalami kesulitan.
Dia sendiri bekerja di sebuah pabrik makanan, setiap hari bekerja 10 jam lebih, hanya mendapat 6 Yuan saja, roda kehidupan yang susah ini membuat dia berputar bagaikan sebuah gasing, perlahan dia mulai melupakan dendamnya.
Zhing harus menyekolahkan anaknya, demi 3 kali makan setiap hari, dia bekerja sangat keras.
Anaknya di sekolah meminta bantuan keringanan, akhirnya mendapat orang tua asuh, setiap bulan mendapat bantuan 100 Yuan, jumlah ini bagi mereka sudah sangat membantu, dari uang bantuan yang ditransfer dapat di lihat bahwa orang yang membantunya berasal dari kota lain.
Ketika sudah 10 kali menerima transfer uangnya, Zhing beranggapan sudah seharusnya dia pergi ke kota mengucapkan terima kasih kepada orang yang membantunya ini, karena dia tidak kenal kepada orang yang membantunya, dia pernah pergi ke kota mengecek orang ini tetapi alamat dan nama orang ini adalah palsu.
Setiap bulan dia menerima uang bantuan ini, berjalan sampai 5 tahun, total keseluruhannya adalah 6.000 Yuan, anaknya sudah tamat SMP, sudah masuk ke SMA.
Kejadian bantuan yang demikian panjang ini menimbulkan minat media, seseorang yang tanpa nama membantu seorang murid terus menerus sampai 5 tahun, ini adalah sebuah berita besar.
Para wartawan di media berusaha mencari alamat orang tersebutnya, akhirnya ketemu, dia adalah seorang wanita paruh baya, seorang wanita penjual sayur yang wajahnya penuh kerut.
Wartawan menanyakan penjual sayur ini kenapa membantu menyekolahkan anak orang lain  selama 5 tahun, perempuan ini tidak mau menjawab, atas desakan wartawan akhirnya wanita ini berkata, “ Saya bukan orang tua asuh, saya membayar hutang suami saya, ketika suami saya menjadi pemadam kebakaran tanpa sengaja menyebabkan bapak anak ini meninggal, sejak itu suami saya merasa bersalah, dia lalu sakit keras sebelum dia meninggal berpesan kepada saya membayar hutangnya walau bagaimanapun harus membantu anak ini.”
Wartawan bertanya kepada wanita ini, “Bagaimana engkau setiap bulan mendapatkan 100 Yuan membantu anak ini?” Wanita ini berkata,” Saya belajar menanam sayur, setiap hari membawa sayur yang saya tanam dijual ke kota, setiap bulan pendapatan saya 200 Yuan.”
Akhirnya wanita ini menambahkan, “Jangan biarkan mereka tahu masalah ini, saya ingin menyekolahkan anak ini sampai ke perguruan tinggi.”
Zhing setelah tahu uang bantuan tersebut berasal dari ‘musuhnya’, wanita yang seperti dia sendiri dengan susah payah menanam sayur dan menjualnya. Zhing berkata dia akan menemui wanita ini.
Zhing dan anaknya datang ke desa tempat kenangan pahit itu, sampai di rumah wanita penanam sayur ini,  wanita ini melihat kedatangannya segera berlutut memohon maaf. Melihat kejadian ini Zhing dan anaknya segera memapah wanita ini berdiri, wanita ini berkata, “Saya mewakili suami saya meminta maaf kepada kalian berdua.”
Zhing menangis, dia memandang rumah reyot ‘musuhnya’ yang lantai rumahnya terbuat dari tanah liat melihat wajah penuh kerut wanita yang demi menolong anaknya sekolah bekerja susah payah menanam sayur, pada saat itu dia sangat terharu langsung berlutut dan berkata “Kakak”.  Zhing memegang kedua tangan wanita yang sangat kasar ini, menangis dengan sedih.
Zhing sudah lama melupakan dendam tersebut, dia menarik tangan wanita ini berkata, “Bagaimana saya bisa membalas budi baikmu?” Zhing menyuruh anaknya berlutut mengetuk kepala ke lantai mengucapkan terima kasih kepada wanita ini. Akhirnya anak Zhing berkata, “Setelah saya tamat, saya akan mencari uang untuk membiayai mama dan tante, kalian jangan khawatir.” Setelah mendengar perkataan ini kedua wanita ini berpelukan sambil menangis dengan gembira.

Membeli Cinta


Di sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya.
Dia mempunyai seorang hamba sahaya yang sangat bebal – begitu dungu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.
Suatu hari sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk menagih hutang para penduduk di sana.
”Hutang mereka sudah cukup tempoh,” kata sang tuan.
“Baik, Tuan,” sahut si bodoh.
“Tetapi nanti wangnya mahu dibeli apa?”
“Belikan sesuatu yang belum aku punyai,” jawab sang tuan.
Maka pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksudkan.
Cukup penat juga si bodoh menjalankan tugasnya; mengumpulkan sedikit demi sedikit wang hutang dari para penduduk kampung.
Para penduduk itu memang sangat miskin, dan ketika itu pula tengah terjadinya kemarau panjang.
Akhirnya si bodoh berjaya juga menyelesaikan tugasnya.
Dalam perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya, “Belikan sesuatu yang belum aku miliki.”
“Apa, ya?” tanya si bodoh dalam hati.
“Tuanku sangat kaya, apa lagi yang belum dia punyai?” Setelah berfikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawapannya.
Dia kembali ke perkampungan miskin tadi.
Lalu dia bagikan lagi wang yang sudah dikumpulkannya tadi kepada para penduduk.
“Tuanku, memberikan wang ini kepada kalian,” katanya.
Para penduduk sangat gembira.
Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.
Ketika si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan geleng-geleng kepala.
“Benar-benar bodoh,” keluhnya.
Waktu berlalu.
Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka; perubahan pemimpin kerana pemberontakan membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu.
Belum lagi bencana banjir yang menghabiskan semua harta bendanya.
Pendek kata sang tuan jatuh miskin dan melarat.
Dia terpaksa meninggalkan rumahnya.
Hanya si bodoh yang ikut serta.
Ketika tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan riang dan hangat; mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.
“Siapakah para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mahu berbaik hati menolongku?” tanya sang tuan.
“Dulu tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung ini,” jawab si bodoh.
“Tuan berpesan agar wang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai.
Ketika itu saya berfikir, tuan sudah memiliki segalanya.
Satu-satunya hal yang belum tuan punyai adalah cinta di hati mereka.
Maka saya membahagikan wang itu kepada mereka atas nama tuan. Sekarang tuan menuai cinta mereka.
” Semoga orang-orang yang punya kekayaan dan pengaruh dapat belajar dari kisah tadi bahawa kekayaan dan pengaruh baru akan sangat berguna kalau dipergunakan untuk menebar cinta kasih.
“Nama baik lebih berharga dari pada kekayaan besar, dan dikasihi orang lebih baik dari pada perak dan emas.”

Seseorang Yang Mencintaimu

Orang yang mencintaimu tidak pernah bisa memberikan alasan kenapa ia mencintaimu, yang ia tahu dimatanya hanya ada kamu satu²nya.
Orang yang mencintaimu selalu menerimamu apa adanya, dimatanya kamu selalu yang tercantik/tertampan walaupun mungkin kamu merasa berat badanmu sudah berlebihan atau kamu merasa kegemukan .
Orang yang mencintaimu selalu ingin tahu tentang apa saja yang kamu lalui sepanjang hari ini, ia ingin tahu kegiatanmu.
Orang yang mencintaimu akan mengirimkan sms seperti “selamat pagi, selamat hari minggu, selamat tidur”, walaupun kamu tidak membalas pesannya
Kalau kamu berulang tahun dan kamu tidak mengundangnya setidaknya ia akan telpon untuk mengucapkan selamat atau mengirim sms.
Orang yang mencintaimu akan selalu mengingat setiap kejadian yang ia lalui bersamamu, bahkan mungkin kejadian yang kamu sendiri sudah lupa setiap detailnya, karena saat itu adalah sesuatu yang berharga untuknya.
Orang yang mencintaimu selalu mengingat tiap kata2 yang kamu ucapkan bahkan mungkin kata2 yang kamu sendiri lupa pernah mengatakannya.
Orang yang mencintaimu akan belajar menyukai lagu-lagu kesukaanmu, bahkan mungkin meminjam CD/kasetmu, karena ia ingin tahu kesukaanmu; kesukaanmu adalah kesukaannya juga.
Kalau terakhir kali ketemu, kamu sedang sakit flu, terkilir, atau sakit gigi, beberapa hari kemudian ia akan mengirim sms atau menelponmu dan menanyakan keadaanmu karena ia mengkhawatirkanmu.
Kalau kamu bilang akan menghadapi ujian ia akan menanyakan kapan ujian itu dan saat harinya tiba ia akan mengirimkan sms “good luck” atau menelponmu untuk menyemangati kamu.
Orang yang mencintaimu akan memberikan suatu barang miliknya yang mungkin buat kamu itu adalah sesuatu yang biasa, tapi baginya itu menjadi barang yang istimewa.
Orang yang mencintaimu akan terdiam sesaat, saat sedang berbicara ditelpon denganmu, sehingga kamu menjadi bingung dan saat itu dia merasa sangat gugup karena kamu telah mengguncang dunianya.
Orang yang mencintaimu selalu ingin berada didekatmu dan ingin menghabiskan hari2nya denganmu.
Jika suatu saat kamu harus pindah ke kota lain untuk waktu yang lain, ia akan memberikan nasehat supaya kamu waspada dengan lingkungan yang bisa membawa pengaruh buruk bagimu.
Orang yang mencintaimu bertindak lebih seperti saudara daripada seperti seorang kekasih.
Orang yang mencintaimu sering melakukan hal2 yang konyol seperti menelponmu 100x dalam sehari, atau membangunkanmu ditengah malam karena ia mengirim sms atau menelponmu karena saat itu ia sedang memikirkanmu.
Orang yang mencintaimu kadang merindukanmu dan melakukan hal2 yang membuat kamu jengkel atau gila, saat kamu bilang tindakannya membuatmu terganggu maka ia akan minta maaf dan tak kan melakukannya lagi.
Jika kamu memintanya untuk mengajarimu sesuatu maka ia akan mengajarimu dengan sabar walaupun kamu mungkin orang yang terbodoh di dunia!
Kalau kamu melihat handphone-nya maka namamu akan menghiasi sebagian besar “INBOX”nya. Ya ia masih menyimpan pesan darimu walaupun pesan itu sudah kamu kirim sejak berbulan2 bahkan bertahun2 yang lalu.
Dan jika kamu menghindarinya atau memberi reaksi penolakan, ia akan menyadarinya dan menghilang dari kehidupanmu walaupun hal itu membunuh hatinya. Karena yang ia inginkan hanyalah kebahagiaanmu.
Jika suatu saat kamu merindukannya dan ingin memberinya kesempatan ,ia akan ada disana menunggumu karena ia tak pernah mencari orang lain. Ya…………ia selalu menunggumu

Mundur Selangkah

Di sebuah jalan raya tinggal dua keluarga yaitu Li dan Chang. Bila kita melewati rumah keluarga Chang, sering terdengar suara ribut-ribut, jika bukan suara berkelahi, tentu suara orang memaki, menangis dan melempar barang.
Sedangkan di seberang jalan di rumah keluarga Li, sering terdengar orang berbicara dengan sopan, lemah lembut dan sering terdengar suara bercanda dan suara orang tertawa gembira.
Suatu hari Chang bertemu dengan Li, dengan heran dia bertanya kepada Li, “Sungguh heran, kenapa dirumah kalian sering terdengar suara tertawa gembira, tidak pernah terdengar suara pertengkaran? Bagaimana bisa begitu?”
Li berkata,”Setiap anggota keluarga kami selalu mengganggap dirinya bersalah, sedangkan setiap anggota keluarga kamu selalu mengganggap dirinya ada orang yang benar.”
“Kenapa bisa begitu, orang aneh, didunia ini mana ada orang yang mengatakan dirinya sendiri orang yang bersalah?”
Li melanjutkan perkataannya,”Pada suatu hari di tangga rumahmu ada sebuah gelas diletakkan di anak tangga, gelas itu diletakkan oleh Athe beberapa waktu yang lalu, ketika Achung melewati anak tangga tanpa sengaja menyenggol gelas tersebut sehingga pecah dan melukai kakinya, coba engkau terka apa yang dikatakannya?
Achung segera membuka mulutnya memaki, ”Athe, kenapa meletakkan gelas ini disini, lihat gara-gara kamu kaki saya terluka! Athe segera membalas, semua ini kesalahan kamu sendiri,  jalan tidak memakai mata! Heeeh! pantas saja terluka! Kemudian apa yang terjadi… tentu saja mereka berdua berkelahi.”
“Semua inikan hal yang normal?” Chang dengan tidak mengerti menjawab.
“Tidak… jika orang dirumah saya menyenggol gelas itu, akan berkata, ”Aduh! Saya sungguh tidak berhati-hati, sudah menyenggol pecah gelas ini, celaka, bagaimana jika nanti terpijak oleh orang lain .. lalu orang yang meletakkan gelas datang meminta maaf, maaf! Maaf!, tadi saya akan membawa gelas ini ke lantai atas tetapi tiba-tiba ada telepon masuk … saya lupa membawanya… maaf!”
“Lihat dengan demikian, bukankah hasilnya lebih bagus?”
Chang sekarang langsung mengerti maksud Li.
Setiap manusia ketika bergaul dengan orang lain dapat mengalah selangkah, bersikap sopan, penuh toleransi dengan orang lain, maka akan seperti keluarga Li ini.
Setiap orang tidak mengeluarkan kata-kata yang memaki, menggantikan memaki dengan meminta maaf, mengubah sifat marah menjadi penuh perhatian, bukankah dengan demikian semuanya akan berjalan dengan baik?.
Ttidak saja bisa merubah sebuah pertengkaran yang tidak seharusnya terjadi, membuat lebih banyak dosa dengan memaki, malah bisa mempererat hubungan satu sama lain.
Li berkata bahwa semua anggota keluarganya berpikir untuk mencari kesalahan kepada diri sendiri saat menemui konflik.
Apabila di dunia ini semua orang menganggap dirinya selalu benar, begitu menemui masalah menyalahkan keluar, mereka tidak dapat mengintropeksi diri sendiri terhadap kejadian yang terjadi dilingkungannya, sebaliknya, jika selalu mengganggap diri sendiri orang bersalah, selalu karena tidak berhati-hati membuat kesalahan, supaya tidak menyusahkan orang lain, dia akan senantiasa menjaga sikapnya, akan selalu intropeksi diri, bukankah demikian?
Semoga Anda juga selalu memperhatikan orang disekitar Anda, membuat masalah besar menjadi masalah kecil, masalah kecil menjadi sirna. Mundur selangkah demi orang lain, Anda akan menyadari hubungan antara manusia sebenarnya tidak serumit yang Anda bayangkan.

Rabu, 01 Desember 2010

Moment

If I die tonight, I'd go with no regrets

If it's in your arms I know that I was blessed

And if your eyes are the last thing that I see

Then I know the beauty heaven holds for me

But if I make it through, if I live to see the day

If I'm with you, I'll know just what to say

The truth be told, girl you take my breath away

Every minute, every hour, every day








A moment in time is all that's given you and me

A moment in time, and it's something you should s
eize


So I won't make the mistake of letting go

Everyday you're here I'm gonne let you know







And Each morning that I get up, I love you more than ever

So girl I'll never go away, never stray











So every moment we share together

Is even better than the moment before


If every day was as good as today was


Then I can't wait until tomorrow comes






Perjuangan Cinta...

Semuanya berawal dari sebuah rumah mewah di pinggiran desa, yg mana hiduplah disana sepasang suami istri, sebut saja Pak Andre dan Bu Rina.
Pak Andre adalah anak tunggal keturunan orang terpandang di desa itu, sedangkan Bu Rina adalah anak orang biasa. Namun demikian kedua orang tua Pak Andre, sangat menyayangi menantu satu-satunya itu. Karena selain rajin, patuh dan taat beribadah, Bu Rina juga sudah tidak punya saudara dan orang tua lagi. Mereka semua menjadi salah satu korban gempa beberapa tahun yg lalu.
Sekilas orang memandang, mereka adalah pasangan yg sangat harmonis. Para tetangganya pun tahu bagaimana mereka dulu merintis usaha dari kecil untuk mencapai kehidupan mapan seperti sekarang ini. Sayangnya, pasangan itu belum lengkap.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun usia pernikahannya, mereka belum juga dikaruniai seorang anakpun. Akibatnya Pak Andre putus asa hingga walau masih sangat cinta, dia berniat untuk menceraikan sang istri, yg dianggabnya tidak mampu memberikan keturunan sebagai penerus generasi. Setelah melalui perdebatan sengit, dengan sangat sedih dan duka yg mendalam, akhirnya Bu Rina pun menyerah pada keputusan suaminya untuk tetap bercerai.
Sambil menahan perasaan yg tidak menentu, suami istri itupun menyampaikan rencana perceraian tersebut kepada orang tuanya. Orang tuanya pun menentang keras, sangat tidak setuju, tapi tampaknya keputusan Pak Andre sudah bulat. Dia tetap akan menceraikan Bu Rina.
Setelah berdebat cukup lama dan alot, akhirnya dengan berat hati kedua orang tua itu menyetujui perceraian tersebut dengan satu syarat, yaitu agar perceraian itu juga diselenggarakan dalam sebuah pesta yg sama besar seperti besarnya pesta saat mereka menikah dulu.
Karena tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, maka persyaratan itu pun disetujui.
Beberapa hari kemudian, pesta diselenggarakan. Saya berani sumpah bahwa itu adalah sebuah pesta yg sangat tidak membahagiakan bagi siapapun yg hadir. Pak Andre nampak tertekan, stres dan terus menenggak minuman beralkohol sampai mabuk dan sempoyongan. Sementara Bu Rina tampak terus melamun dan sesekali mengusap air mata nelangsa di pipinya.
Di sela mabuknya itu tiba-tiba Pak Andre berdiri tegap dan berkata lantang,
“Istriku, saat kamu pergi nanti… ambil saja dan bawalah serta semua barang berharga atau apapun itu yg kamu suka dan kamu sayangi selama ini..!”
Setelah berkata demikian, tak lama kemudian ia semakin mabuk dan akhirnya tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, seusai pesta, Pak Andre terbangun dengan kepala yg masih berdenyut-denyut berat. Dia merasa asing dengan keadaan disekelilingnya, tak banyak yg dikenalnya kecuali satu. Rina istrinya, yg masih sangat ia cintai, sosok yg selama bertahun-tahun ini menemani hidupnya.
Maka, dia pun lalu bertanya,
Ada dimakah aku..? Sepertinya ini bukan kamar kita..? Apakah aku masih mabuk dan bermimpi..? Tolong jelaskan…”
Bu Rina pun lalu menatap suaminya penuh cinta, dan dengan mata berkaca dia menjawab,
“Suamiku… ini dirumah peninggalan orang tuaku, dan mereka itu para tetangga. Kemaren kamu bilang di depan semua orang bahwa aku boleh membawa apa saja yg aku mau dan aku sayangi. Dan perlu kamu tahu, di dunia ini tidak ada satu barangpun yg berharga dan aku cintai dengan sepenuh hati kecuali kamu. Karena itulah kamu sekarang kubawa serta kemanapun aku pergi. Ingat, kamu sudah berjanji dalam pesta itu..!”
Dengan perasaan terkejut setelah tertegun sejenak dan sesaat tersadar, Pak Andre pun lalu bangun dan kemudian memeluk istrinya erat dan cukup lama sambil terdiam. Bu Rina pun hanya bisa pasrah tanpa mampu membalas pelukannya. Ia biarkan kedua tangannya tetap lemas, lurus sejajar dengan tubuh kurusnya.
“Maafkan aku istriku, aku sungguh bodoh dan tidak menyadari bahwa ternyata sebegitu dalamnya cintamu buat aku. Sehingga walau aku telah menyakitimu dan berniat menceraikanmu sekalipun, kamu masih tetap mau membawa serta diriku bersamamu dalam keadaan apapun…”
Kedua suami istri itupun akhirnya ikhlas berpelukan dan saling bertangisan melampiaskan penyesalannya masing-masing. Mereka akhirnya mengikat janji (lagi) berdua untuk tetap saling mencintai hingga ajal memisahkannya.
——————————————————————————–
Tahukah kalian, apa yg dapat kita pelajari dari kisah di atas? tujuan utama dari sebuah pernikahan itu bukan hanya untuk menghasilkan keturunan, meski diakui mendapatkan buah hati itu adalah dambaan setiap pasangan suami istri, tapi sebenarnya masih banyak hal-hal lain yg juga perlu diselami dalam hidup berumah-tangga.
Untuk itu rasanya kita perlu menyegarkan kembali tujuan kita dalam menikah yaitu peneguhan janji sepasang suami istri untuk saling mencintai, saling menjaga baik dalam keadaan suka maupun duka. Melalui kesadaran tersebut, apapun kondisi rumah tangga yg kita jalani akan menemukan suatu solusi. Sebab proses menemukan solusi dengan berlandaskan kasih sayang ketika menghadapi sebuah masalah, sebenarnya merupakan salah satu kunci keharmonisan rumah tangga kita.
“Harta dalam rumah tangga itu bukanlah terletak dari banyaknya tumpukan materi yg dimiliki, namun dari rasa kasih sayang dan cinta pasangan suami istri yg terdapat dalam keluarga tersebut. Maka jagalah harta keluarga yg sangat berharga itu..!”

3 Karung Beras

Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin,
yang memiliki seorang anak laki-laki.
Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk
saling menopang.
Ibunya bersusah payah seorang membesarkan anaknya,
saat itu kampung tersebut belum memiliki listrik.
Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak,
sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.
Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas.
Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah
sehingga tidak bisa lagi bekerja di sawah.
Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh
kg beras untuk dibawa kekantin sekolah.
Sang anak mengerti bahwa ibuya tidak mungkin bisa memberikan
tiga puluh kg beras tersebut. Dan kemudian berkata kepada ibunya:
“Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja di sawah”.
Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata :
“Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi
kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan
kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan ke
sekolah nanti berasnya mama yang akan bawa ke sana”.
Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan ke sekolah,
mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya
sang anak ini dipukul oleh mamanya. Sang anak akhirnya pergi juga ke
sekolah.
Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat
bayangan anaknya yang pergi menjauh. Tak berapa lama,
dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang ke kantin
sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya.
Pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka
kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan
berkata :
“Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat,
di sini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini
tempat penampungan beras campuran”.
Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas
tersebut. Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk
ke dalam kantin.
Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong
tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata:
“Masih dengan beras yang sama”.
Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan
Ibu ini dan kemudian berkata :
“Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya
harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang
dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi,
maka saya tidak bisa menerimanya” .
Sang ibu sedikit takut dan berkata : “Ibu pengawas, beras di rumah kami
semuanya seperti ini jadi bagaimana?
Pengawas itu pun tidak mau tahu dan berkata : “Ibu punya berapa hektar
tanah sehingga bisa menanam bermacam-macam jenis beras”.
Menerima pertanyaan seperti itu sang ibu tersebut akhirnya tidak berani
berkata apa-apa lagi.
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali ke sekolah. Sang pengawas
kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata:
“Kamu sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap
membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu!”.
Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas
tersebut dan berkata:
“Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis”.
Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa
berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut akhirnya duduk di atas lantai,
menggulung celananya dan memperlihatkan kakinya yang sudah mengeras
dan membengkak.
Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata:
“Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah,
apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau
berhenti sekolah untuk membantuku bekerja di sawah. Tapi saya melarang
dan menyuruhnya bersekolah lagi.”
Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada di kampung
sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya. Setiap hari pagi-pagi
buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi ke kampung
sebelah untuk mengemis.
Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali ke kampung sendiri.
Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan ke sekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun
mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata:
“Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa
diberikan sumbangan untuk keluarga ibu.”
Sang ibu buru- buru menolak dan berkata:
“Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya,
maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu
sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas,
tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini.”
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah.
Secara diam-diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya
hidup anak tersebut selama tiga tahun. Setelah Tiga tahun kemudian,
sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi qing hua dengan nilai
627 point.
Di hari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari
anak ini duduk di atas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh,
begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu
ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi di sana masih terdapat tiga
kantong beras.
Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju ke depan dan menceritakan
kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah.
Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh
haru dan berkata : “Inilah sang ibu dalam cerita tadi.”
Dan mempersilakan sang ibu tersebut yang sangat luar biasa untuk naik
ke atas mimbar.
Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat ke belakang dan
melihat gurunya menuntun mamanya berjalan ke atas mimbar.
Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan.
Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya.
Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan
berkata:
“Oh Mamaku…… ……… …

Los Felidas

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di AmerikaSelatan, yang terletak di kawasan terkumuh di seluruh kota. Ada sebuah kisah Natal yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh bekas suaminya dari kampung halamannya.
 Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong. Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.
 Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini.? Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
 Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur diemperan toko itu. Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis disana selama 6 bulan berikutnya.
 Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah dimana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.
 Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin dirambut kita.? Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati, didalamnya, disebelahnya ia meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan mata basah ibu menuju ke pabrik sepatu, dimana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
 Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga dikantong sang ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu didaerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju kepenginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer kepusat kota. Disitu mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya kesebuah rumah mewah di pusat kota. Disitu gadis cilik itu dijual.
 Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Ditengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benzkemanapun ia pergi.
 Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih,yang bernama Geraldo.
 Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan dilaci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri.
 Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Didalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, dimana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.
 Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa jenis wajahnya dan wajah kedua orang tuanya berbeda, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya. Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat dibenaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya didada.
 Diruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu.
 Ia seolah merasakan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkin ibu saya masih ada dijalan sekarang setelah 25 tahun.?
 Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar keseluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial diseluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita. Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu dinegeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencaharian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian. Saat itu waktu sudah memasuki masa Natal. Seluruh negeri bersiap untuk menyambut hari kelahiran Kristus, dan bahkan untuk kasus Serrafona-pun orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon-pohon terang mulai menyala disana-sini, mendengar lagu-lagu Natal mulai dimainkan ditempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.
Pagi siang dan sore ia mengambil rosarionya dan berdoa: Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan hari lahirmu, tapi ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya.?
 Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ketempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya.
 Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.
 Mereka tinggal disebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya. Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka.
 ”Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”
 Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah disepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk ke dalam, tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang.
 Ia mulai berdoa: Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja.
 Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: Tuhan beri saya sebulan saja. Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan.
 Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Ditengah-tengah jalan itu, didepan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Dibelakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
 ”Belum bergerak dari tadi.” Lapor salah seorang.
 Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
 ”Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu.”
 Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya kesitu. Ia memandang lantai dikakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ketangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
 Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberinya tahu bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya. Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke dadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, kearah mobil-mobil yang mengkilat dan kearah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.
 ”Mama….” ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari – antara sadar dan tidak? kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya didada mamanya.
 ”Mama. Saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama…”
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja….. satu jam saja…..
 Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.