Feel Free To Read It

Kami Datang... Belajar... Dan Melayani
We Came... Learn.. And Serve

Rabu, 23 Februari 2011

You Makes Me Crazy... Part 3

Terkadang seseorang tak menyadari kehadiran cinta yang pada kenyataannya sudah merasuki dirinya sendiri. Seperti dalam diri Serina yang secara tak Ia sadari Ia mulai menyukai sosok Benny. Tapi harga diri serta komitmen menutupi semuanya.

Hari itu, Benny berniat untuk pergi menuju rumah Serina. Dia ingin menunjukkan tugasnya yang sudah selesai 100% dan akan berencana menembaknya. Dia mneyiapkan sepasang cincin untuk diberikan kepada Serina. Di lain sisi Serina berniat mengakhiri segala kepalsuanya sebelum dia terjerumus lebih dalam dengan perasaan sukanya terhadap Benny.

Benny : “Ser, wa ke rumah lu yha, mau nunjukkin sesuatu....”

Serina : “waduh, w juga mw ngomong seh, tapi jangan di rumah gwa deh, ketemuan aja yha....”

Akhirnya mereka janjian bertemu di taman tempat mereka bertemu. Dengan gembira Benny mempresentasikan tugasnya kepada dosen cantik pribadinya. Dengan serius dia menjelaskan secara detail tugasnya yaitu sebuah software. Serina yang makin merasa risih untuk berkata jujur hanya dapat diam dan tersenyum. Lalu dalam kecerewetan Bennt, Serina berkata...

“Benn,”

“Ya, napa ser?” sahut Benny

“Gua mau jujur. Selama ini, gua ga punya perasaan apa-apa ma elu. Niat gua dari awal Cuma mw ngerjain cowo-cowo playboy kayak elu yang Cuma nyakitin hati cowo.” Sahut Serina tanpa basa basi.

“Maksudnya?” kata Benny “ apa ini...”

“Elu lulus dengan nilai cumlaude pun ga akan gua terima jadi cowo gua. Elu gimanapun berubahnya, tetap elu playboy, ga akan berubah.” Sahut Serina memotong pembicaraan Benny.

“Ohh gitu, selama ini elu ngerjain gua? PUAS elu? Gua dah nyiapin segalanya dengan sempurna, hanya untuk membuktikan kesungguhan gua. Gua bener-bener suka ma elu, bahkan gua dah menyiapkan cincin untuk elu, tapi malah tamparan yang elu kasi”

“Maafin gua,...” Serina berbalik, sebenarnya dia sudah tidak bisa menahan air mata. Dia sebenarnya sakit mengatakan semuanya. Dia berlari meninggalkan Benny, tanpa disadari dia menyebrangi jalan tanpa melihat keadaan sekitar... Dan.......

***
Kisah Serina :

Serina mengalami luka serius, tapi dia dapat diselamatkan akibat darah yang didonorkan oleh Benny. Tapi Serina masuk dalam keadaan koma. Sampai suatu saat dia terbangun...


“Apa ini, Dimana aku?seru Serina kecil saat terbangun karena rasa sakit seperti digigit nyamuk dikarenakan sedang disuntik.

“Kamu sudah sadar nak?” sahut Ibu Serina. “Syukurlah.... Terima Kasih Tuhan...”

Aku bangun di sebuah rumah sakit. Sudah 3 bulan aku Koma. Tak terasa, seperti hanya tertidur selama semalaman. Kejadian 3 bulan lalu terasa seperti kemarin. Ibu menceritakan segalanya kepadaku, termaksud Benny yang memberikan darahnya yang secara ajaib cocok dengan darahku sampai batas yang benar-benar kritis. Hari itu, Benny pingsan karena memberikan Darah. Tapi menurut keterangan Dokter, Benny tidak dalam keadaan bahaya, Cuma lemas karena darah di dalam tubuh yang di bawah standard.

Aku merasa sakit karena tindakanku kepadanya. Tak kusangka dia mau berbuat sebegitu jauhnya untuk menolongku. Kata ibu, dia pernah memergoki Benny datang duduk di sampingku sambil menatapku.. Setelah beberapa hari setelah saya siuman, Dokter menyatakan saya sudah bisa dirawat jalan. Di saat akan berkemas untuk pulang, saya baru menyadari di jari manis saya, terdapat sebuah cincin, serta satu cincin lagi dikalungkan bersama sebuah kalung di leherku. Aku bertanya-tanya dengan diriku, siapa yang menaruhnya.

Pada saat akan berberes-beres ibu menemukan sebuah buku, yang di dalamnya berisi sebuah surat. Aku membukanya dan membacanya...


Dear Serina,

            Saat kamu membuka surat ini, adalah saat yang paling membuatku tenang, berarti engkau telah sadar dari tidur panjangmu. Maafkan Aku yang telah mengakibatkan segalanya terjadi pada dirimu.
            Aku benar benar mencintaimu, You Makes Me Crazy this time. Aku merubah semua yang buruk pada diriku, hanya untuk bisa berada dalam hatimu. Itu semua seharusnya bisa menunjukkan keseriusanku kepadamu. Tapi aku tak tahu bahwa seserius apapun diriku berubah tak akan menggetarkan hatimu. Tak apa, biarlah aku yang pergi dari hidupmu. Aku hanya berharap engkau bahagia dengan hidupmu. Dan jangan kawatir dengan diriku. Aku memaafkan segalanya, dan akan slalu mendoakan kebahagiaanmu.
Kamu pasti sudah menyadari Cincin yang ada di leher dan jari manismu bukan. Pakailah yang sudah terpakai di jarimu, dan berikanlah yg belum terpakai kepada orang yang dapat mencintaimu dengan tulus.

You have ever Come to MY LIFE...

          YOU MAKES ME CRAZY
                    But I appreciate It....

                             Thanks For Everything...

                   I LOVE YOU...





Air mata Serina tak tertahankan. Ia menyesal telah melepas seorang yang telah berubah sepenuhnya demi dirinya hanya karena alasan yang paling dibenci Serina, yaitu Cinta. Dia merasa bersalah dengan perbuatannya. Dia ingin meminta maaf kepada Benny. Itu adalah tekadnya, dan dia juga berharap hubungannya dengan Benny bisa diperbaiki.

Tapi Semua temannya di kampus tidak ada yang mengetahui keberadaan Benny setelah mereka lulus. Benny menghilang begitu saja. Tidak ada kabar dari dirinya. Terakhir kali temannya melihat Benny adalah saat Kelulusan.

Aku kecewa tak dapat menemukannya. Tapi walau bagaimanapun waktu akan terus berlalu. Sudah setengah tahun setelah aku bangun dari Koma. Aku masih terus mencari keberadaan Benny. Aku merasa ada bagian dari diriku yang menghilang. Suatu waktu pernah seorang teman menemukan Benny di suatu situs jejaring sosial. Namun dia tak pernah membalas panggilan dari temanku. Aku sempat membukanya dan melihat beberapa statusnya...

            “Life must go on, Dia tak menghilang dari pikiranku, tapi Aku mesti terus maju.”
            “Baru kali ini Aku merasa derita Cinta.. Mungkin ini balasan dari TUHAN”

Itulah beberapa tulisan dalam situsnya. Aku semakin terpukul.. Tapi aku telah menyerah. Semuanya telah terjadi. Aku sudah tak tahu harus mencarinya kemana. Aku berjalan tanpa arah sepanjang sore ini. Perjalananku berhenti di sebuah tempat yang tak asing bagiku. Taman Kota tempat aku bertemu dengan Benny. Aku berjalan mengelilinginya sekalian bernostalgia. Saat itulah aku melihat sesosok pria berpakaian Jas, duduk di sebuah bangku menatap dengan tatapan kosong. Dia BENNY!!!

Aku menghampirinya untuk meyakinkan diriku bahwa itu adalah dia. Aku lalu duduk di sampingnya tanpa ia menyadarinya...

“Mas bengong mas?”

“Enggak, tolong jangan ganggu saya, saya lagi ingin sendiri” sahutnya tanpa melihat siapa orang yang berbicara kepadanya..

“Ga sopan kali sih, diajak ngomong tapi ga lihat orang....”sahutku kesal

“Aku minta tolong jangan ganggu a........”kata-katanya terhenti setelah melihatku...”Serina?? Ke...Kenapa kamu bisa ada di sini...”

“Aku.. tak tahu, aku berjalan tanpa arah dan akhirnya berada di sini...”

“Ohhh...., maafkan aku... Aku harus pergi...” sahut Benny...

“Tunggu.... Kenapa mau pergi. Aku sudah mencarimu selama setengah tahun dan saat bertemu denganmu, kamu hanya ingin pergi begitu saja?”

“Maksudmu...?”

“Kamu dah kasi aku sepasang cincin, yang satu tetap aku pakai, dan yang satu lagi mesti kuberikan pada yang pantas memakainya bukan....”sahutku seraya melepas kalungku, mengambil cincin yang berada disana, lalu memasangkannya di tangan Benny...

”Kaulah orang yang pantas memakainya. Bukan karena kamu telah berubah, bukan juga karena kamu bukan Playboy seperti dulu.... Tapi Karena KAMU MEMBUATKU GILA.. I LOVE YOU.....”


............

Terkadang CINTA DATANG tanpa Kita SADARI dan bisa PERGI tanpa Kita SADARI juga.
Genggamlah segala yang ada dan Biarkan IA BERKEMBANG DALAM KENANGAN INDAH....


The End...

Selasa, 22 Februari 2011

Tuhan Menghubungkan Kami

 
- Tuhan hadir dalam hal-hal kecil – Ludwig Mies van der Rohe
Aku dan Lisa, istriku, bekerja keras untuk memajukan koran mingguan bertiras kecil yang kami terbitkan di Guthrie, Oklahoma. Kami curahkan tenaga dan pikiran kami demi suksesnya koran itu. Aku menulis, Lisa menjual iklan. Sering kami bekerja sampai lewat tengah malam ketika seluruh penduduk kota dan anak-anak kami tidur.
Pada malam seperti itu, kami naik ke tempat tidur hanya untuk turun lagi beberapa jam kemudian. Aku makan sereal, minum segelas besar soda, kemudian berangkat ke percetakan di Oklahoma City. Lisa mengurus kelima anak kami, menyiapkan tiga yang terbesar pergi ke sekolah dengan kantong bekal makan siang di tangan mereka. Aku terlalu letih dan enggan menyetir. Lisa terlalu letih dan enggan melakukan apa saja.
“Suhu tujuh puluh derajat, matahari bersinar cerah. Hari baru yang indah,” disc jockey berceloteh riang di radio mobil. Aku tidak mempedulikannya.
Tapi, aku tak bisa mengabaikan pengaruh segelas besar minuman ringan. Kepalaku pusing. Aku sadar, aku takkan sanggup menyetir sampai ke kota. Karenanya, kupinggirkan mobilku ke tempat istirahat di tepi jalan raya negara bagian, hanya beberapa mil dari rumah kami.
Sementara itu, dalam keadaan sangat letih, Lisa melakukan tugas yang itu-itu juga : menelepon perusahaan-perusahaan peelayanan masyarakat, menjelaskan mengapa kami terlambat membayar dan memohon perpanjangan aliran air panas dan pendingin udara sehari lagi. Setelah itu dia mencari nomor telepon dan menghubungi perusahaan listrik.
Ketika turun dari mobil di tempat istirahat, aku mendengar telepon umum di situ berdering. Aku satu-satunya orang yang ada di situ, tetapi aku memandang ke sekelilingku. “Tolong angkat teleponnya,” aku berteriak, persis seperti di rumah.
Ini pasti salah sambung yang paling ajaib, pikirku. Kemudian kudengar diriku berkata, “Mengapa tidak?” Aku berjalan mendekati pesawat telepon itu lalu mengangkatnya.
“Halo?” kataku.
Hening. Disusul jeritan.
“Thom! Sedang apa kau di perusahaan listrik?
“Lisa? Kenapa kau menelepon telepon umum di pinggir jalan raya?”
Kami sama-sama mengucapkan, “aku tak percaya” dan “ini aneh dan seram.” Aku membayangkan Rod Serling tiba-tiba lewat, pergi ke Twilight Zone.
Kami meneruskan bicara, seruan-seruan kami berubah menjadi percakapan. Percakapan yang tidak tergesa-gesa, yang nyata, tanpa diinterupsi, dan yang pertama setelah sekian lama. Kami bahkan bicara tentang tagihan listrik. Aku menyuruh Lisa tidur sebentar, dia mengingatkan aku agar mengenakan sabuk pengaman dan menghilangkan pengaruh soda di kepalaku.
Tetapi, aku tak mau memutuskan hubungan, Kami sama-sama mengalami pengalaman yang menakjubkan. Meskipun nomor perusahaan listrik dan telepon umum itu hanya beda satu digit, keberadaanku di sana ketika Lisa menelepon adalah kemungkinan yang amat sangat kecil. Kami percaya Tuhan tahu bahwa pagi itu, di atas segalanya, kami perlu mendengar suara pasangan kami. Dan, Tuhan menyambungkan kami.
Kejadian itu merupakan awal dari perubahan-perubahan halus yang terjadi di keluarga kami. Kami heran, bagaimana kami telah begitu mengabdikan diri pada pekerjaan kami dan menyerahkan anak-anak kami kepada orang lain untuk mengantar mereka tidur. Bagaimana mungkin setiap pagi aku duduk di meja makan, di seberang istriku, tanpa mengucapkan selamat pagi?
Dua tahun kemudian, kami meninggalkan bisnis yang telah begitu mendominasi hidup kami. Aku mendapat pekerjaan baru di perusahaan telepon. Siapa bilang Tuhan tidak punya rasa humor?
Thom Hunter





Tak Pernah Tua

“selama seseorang bisa mengagumi dan mencintai, orang itu akan muda selamanya.”

Pablo Casals

Sesuatu yang sangat aneh terjadi dalam dua puluh enam tahun perkawinanku. Orang tuaku menjadi tua. Anak-anak kami telah siap meninggalkan rumah dan hidup mandiri. Tetapi aku tidak bertambah tua. Aku tahu tahun demi tahun berlalu karena aku bisa merasakan kehilangan-kehilangan yang kualami. Celana jeans nomor dua belas sudah tidak muat dan sepatu bertumit tinggi sudah lama tersingkir. Wajah gadis muda yang penuh semangat dan siap menerima tantangan sudah tak ada lagi. Tetapi, seperti Tinkerbell, aku tidak pernah menjadi tua. Karena bagi mata dan jiwa suamiku … aku masih tetap, dan akan selalu tetap … berumur delapan belas, masih lincah dan penuh semangat seperti pada hari ketika kami pertama kali bertemu.

Dia masih memanggilku “cutie” (si mungil yang menggemaskan), mengajakku nonton film-film seram dan duduk di bioskop di antara remaja-remaja yang menjerit-jerit. Kami berpegangan tangan dan makan popcorn dari wadah yang sama, persis seperti yang kami lakukan bertahun-tahun lalu. Kami masih suka mengejar mobil pemadam kebakaran, makan di restoran-restoran murah dan mendengarkan musik rock and roll tahun 60-an.

“Kau pasti kelihatan keren memakai pakaian seperti itu.” kata suamiku sambil menunjuk seorang gadis cantik yang sedang melenggang di mall. Rambutnya pirang, terurai indah sampai ke punggungnya. Dia mengenakan tank top dan celana super pendek. Apakah sudah kukatakan bahwa dia kira-kira berusia dua puluh tahun? Aku ingin tertawa keras-keras, tetapi aku menahan diri. Suamiku tidak bercanda.

Setiap bulan Juli, dia mengajakku nonton country fair -pasar malam-.

Pada malam yang panas di musim panas, kami berjalan-jalan di tanah lapang yang berdebu, menikmati suasana. Kami makan jagung bakar, dia membelikan aku souvenir murahan. Penjaga permainan lemparan berhadiah memanggil-manggil dari kios mereka sepanjang jalur tengah. Suamiku membidik dan melemparkan pasir ke papan yang dari rangkaian balon, setiap tahun dia mencoba memenangkan hadiah berupa boneka beruang raksasa. Ketika orang-orang lain seusia kami beristirahat di bangku-bangku, kami malah naik roller coaster. Mendaki ke puncak, lau tiba-tiba menukik, sambil berpegangan tangan ketika roda roller coaster berderit-derit di putaran terakhir. Ketika pasar malam hampir tutup,kami sampai di tempat favorit kami, di puncak kincir Ferris. Kami berdua menjilati sebatang arumanis merah jambu dan memandang lautan cahaya lampu neon warna-warni yang terbentang di bawah kami.

Kadang-kadang aku berpikir apakh dia sadar kalau aku sudah melewati empat dekade. Bahwa anak-anak yang dulu kukandung kini mungkin punya anak sendiri. Apakah dia tidak melihat helaian abu-abu yagn mulai bermunculan di rambutku? Kerut-merut di sekitar mataku? Apakah dia bisa merasakan kerapuhanku? Apakah dia mendengar derik lututku kalau aku membungkuk? Aku memandangi dia… yang memandangiku … dengan mata mudanya yang nakal, dan aku tahu bahwa dia tidak menyadari itu semua.

Kadang-kadang aku membayangkan, di manakah kami empat dekade dari sekarang? Aku tahu, kami masih akan tetap bersama, tetapi di mana? Di panti jompo? Tinggal bersama anak-anak kami? Anehnya, bayangan-bayangan itu tidak cocok. Hanya ada satu gambar yang jelas sekali dan tidak pernah berubah. Aku memejamkan mata dan melihat jauh ke masa depan … aku melihat kami … seorang lelaki tua dan kekasihnya yang manis dan muda. Rambutku sudah putih. Wajah suamiku penuh kerut merut. Kami tidak duduk di depan sebuah gedung, melamun dan memandangi kehidupan yang berlangsung di sekitar kami. Sebaliknya, kami duduk di puncak kincir Ferris, bergenggaman tangan dan berdua menjilati satu arumanis merah jambu di bawah cahaya bulan di bulan Juli…

Shari Cohen