Feel Free To Read It

Kami Datang... Belajar... Dan Melayani
We Came... Learn.. And Serve

Selasa, 22 Februari 2011

Tak Pernah Tua

“selama seseorang bisa mengagumi dan mencintai, orang itu akan muda selamanya.”

Pablo Casals

Sesuatu yang sangat aneh terjadi dalam dua puluh enam tahun perkawinanku. Orang tuaku menjadi tua. Anak-anak kami telah siap meninggalkan rumah dan hidup mandiri. Tetapi aku tidak bertambah tua. Aku tahu tahun demi tahun berlalu karena aku bisa merasakan kehilangan-kehilangan yang kualami. Celana jeans nomor dua belas sudah tidak muat dan sepatu bertumit tinggi sudah lama tersingkir. Wajah gadis muda yang penuh semangat dan siap menerima tantangan sudah tak ada lagi. Tetapi, seperti Tinkerbell, aku tidak pernah menjadi tua. Karena bagi mata dan jiwa suamiku … aku masih tetap, dan akan selalu tetap … berumur delapan belas, masih lincah dan penuh semangat seperti pada hari ketika kami pertama kali bertemu.

Dia masih memanggilku “cutie” (si mungil yang menggemaskan), mengajakku nonton film-film seram dan duduk di bioskop di antara remaja-remaja yang menjerit-jerit. Kami berpegangan tangan dan makan popcorn dari wadah yang sama, persis seperti yang kami lakukan bertahun-tahun lalu. Kami masih suka mengejar mobil pemadam kebakaran, makan di restoran-restoran murah dan mendengarkan musik rock and roll tahun 60-an.

“Kau pasti kelihatan keren memakai pakaian seperti itu.” kata suamiku sambil menunjuk seorang gadis cantik yang sedang melenggang di mall. Rambutnya pirang, terurai indah sampai ke punggungnya. Dia mengenakan tank top dan celana super pendek. Apakah sudah kukatakan bahwa dia kira-kira berusia dua puluh tahun? Aku ingin tertawa keras-keras, tetapi aku menahan diri. Suamiku tidak bercanda.

Setiap bulan Juli, dia mengajakku nonton country fair -pasar malam-.

Pada malam yang panas di musim panas, kami berjalan-jalan di tanah lapang yang berdebu, menikmati suasana. Kami makan jagung bakar, dia membelikan aku souvenir murahan. Penjaga permainan lemparan berhadiah memanggil-manggil dari kios mereka sepanjang jalur tengah. Suamiku membidik dan melemparkan pasir ke papan yang dari rangkaian balon, setiap tahun dia mencoba memenangkan hadiah berupa boneka beruang raksasa. Ketika orang-orang lain seusia kami beristirahat di bangku-bangku, kami malah naik roller coaster. Mendaki ke puncak, lau tiba-tiba menukik, sambil berpegangan tangan ketika roda roller coaster berderit-derit di putaran terakhir. Ketika pasar malam hampir tutup,kami sampai di tempat favorit kami, di puncak kincir Ferris. Kami berdua menjilati sebatang arumanis merah jambu dan memandang lautan cahaya lampu neon warna-warni yang terbentang di bawah kami.

Kadang-kadang aku berpikir apakh dia sadar kalau aku sudah melewati empat dekade. Bahwa anak-anak yang dulu kukandung kini mungkin punya anak sendiri. Apakah dia tidak melihat helaian abu-abu yagn mulai bermunculan di rambutku? Kerut-merut di sekitar mataku? Apakah dia bisa merasakan kerapuhanku? Apakah dia mendengar derik lututku kalau aku membungkuk? Aku memandangi dia… yang memandangiku … dengan mata mudanya yang nakal, dan aku tahu bahwa dia tidak menyadari itu semua.

Kadang-kadang aku membayangkan, di manakah kami empat dekade dari sekarang? Aku tahu, kami masih akan tetap bersama, tetapi di mana? Di panti jompo? Tinggal bersama anak-anak kami? Anehnya, bayangan-bayangan itu tidak cocok. Hanya ada satu gambar yang jelas sekali dan tidak pernah berubah. Aku memejamkan mata dan melihat jauh ke masa depan … aku melihat kami … seorang lelaki tua dan kekasihnya yang manis dan muda. Rambutku sudah putih. Wajah suamiku penuh kerut merut. Kami tidak duduk di depan sebuah gedung, melamun dan memandangi kehidupan yang berlangsung di sekitar kami. Sebaliknya, kami duduk di puncak kincir Ferris, bergenggaman tangan dan berdua menjilati satu arumanis merah jambu di bawah cahaya bulan di bulan Juli…

Shari Cohen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar