Feel Free To Read It

Kami Datang... Belajar... Dan Melayani
We Came... Learn.. And Serve

Rabu, 17 November 2010

Mother...


Aku berusia sepuluh tahun ketika ibuku menjadi lumpuh karena tumor tulang belakang.
Sebelumnya, ia seorang wanita yang sangat bersemangat, sangat aktif, yang bagi kebanyakan orang sangat menakjubkan.
 Bahkan sebagai anak kecil, aku terpesona dengan prestasi-prestasi dan kecantikannya.
Akan tetapi, ketika usianya tiga puluh satu tahun, hidupnya ber­ubah.
 Begitu pula hidupku. Tiba-tiba, dalam waktu sangat singkat, ia terbaring rata di pembaringan rumah sakit.
Sebuah tumor jinak telah mem­buatnya tidak berdaya, tetapi aku masih terlalu muda umuk memahami makna kata “jinak” dalam penyakitnya, karena yang jelas ia tidak pernah seperti dulu lagi.
Kenanganku masih segar tentang dirinya sebelum mende­rita lumpuh.
Ia selalu mudah bergaul dan sering menjadi penghibur bagi orang lain.
Ia sering meluangkan waktu berjam-­jam menyiapkan hidangan pembuka dan menghiasi rumah dengan bunga-bunga segar, yang dipetiknyadari taman­-taman yang selalu dirawatnya di pekarangan samping.
Ia akan mencarikan lagu-Iagu paling populer kala itu dan menata ulang perabotan agar ia dan teman-temannya dapat berdansa.
Sesungguhnya, ibukulah yang paling gemar berdansa.
Dengan terpesona, aku memperhatikan busananya untuk pesta malam itu.
Bahkan hari ini, aku masih ingat pada busana kesukaan kami, pada rok hitam dan baju atasan se­perti korset berhias pita, juga dengan hiasan kepala yang sesuai untuk rambut pirangnya.
Aku juga terpana tatkala siang hari-nya ia membawa pulang sepasang sepatu tumit tinggi warna hitam, dan malam itu ibuku pasti menjadi wanita tercantik di dunia.
Kala itu aku percaya bahwa ia bisa apa saja, dari bermain tenis (ia pernah juara di universitasnya), menjahit (ia membuat semua baju kami), memotret (ia pernah menjadi juara nasio­nal), menulis (ia kolumnis di beberapasurat kabar) sampai memasak (terutama hidangan Spanyol untuk ayahku).
Sekarang, walaupun ia tidak dapat mengerjakan semua tadi, ia menghadapi penderitaan sakitnya dengan gairah sarna se­perti yang sebelumnya selalu ditularkannya kepada setiap orang lain.
Kata-kata seperti “cacat” dan “fisioterapi” menjadi bagian dari sebuah dunia baru asing yang kami masuki bersama-sama, dan bola-bola karet mainan kanak-kanak yang berusaha diremasnya mengandung suatu mistik yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Sedikit demi sedikit, aku mulai mem­bantu merawat ibu yang sebelumnya selalu mengurus kami.
Aku belajar mengurus rambut sendiri-dan rambutnya.
Akhirnya, menjadi biasa bagiku untuk mendorong kursi roda­nya ke dapur, dan di sana ia memberiku petunjuk tentang cara mengupas wortel dan kentang, juga cara mengolesi keratan­keratan daging sapi yang baik dengan bawang putih segar, ga­ram, dan sedikit mentega.
 Ketika untuk pertama kali, aku mendengar pembicaraan tentang tongkat penyangga, aku mengajukan protes: “Aku tidak ingin ibuku yang cantik memakai tongkat kayu.” Tapi yang dikatakannya hanyalah, “Bukankah ibumu lebih baik berjalan dengan tongkat daripada tidak berjalan sama sekali?”
 Setiap prestasi yang diraihnya seperti sebuah patok kilo­meter bagi kami berdua: mesin tik listrik, mobil dengan po­wer steering dan power brake, kembalinya ke universitas, sampai mendapatkan gelar master dalam pendidikan khu­sus.
Ia belajar semua yang dapat dipelajarinya tentang hidup sebagai orang cacat dan akhirnya mendirikan sebuah kelom­pok aktivis pendukung sesama kaum cacat yang disebut The Handicappers.
Pada suatu hari, tanpa memberitahu terlebih dahulu, ia mengajak aku dan adik laki-Iakiku ke acara per­temuan The Handicappers.
 Aku belum pernah melihat begitu banyak orang dengan cacat yang begitu beragam.
Sepulang ke rumah, diam-diam aku memeriksa diri, merenung tentang betapa beruntung kami sesungguhnya. Sejak itu ia sering mengajak kami dan, akhirnya, melihat orang tanpa kaki atau tanpa tangan tidak terasa mengejutkan lagi.
Ibu juga mem­perkenalkan kami dengan beberapa penderitacerebral palsy, menekankan bahwa kebanyakan mereka sama cerdas dengan kami-mungkin lebih cerdas.
Kemudian ia mengajari kami cara berkomunikasi dengan para cacat mental, menunjukkan betapa sering mereka lebih penyayang bila dibandingkan de­ngan kaum “normal.”
Selama menjalani semua ini, ayahku tetap mencintai dan mendukungnya.
Ketika usiaku sebelas tahun, Ibu bercerita kepadaku bahwa ia dan Ayah akan mempunyai bayi lagi.
Lama setelah itu, aku tahu bahwa sesungguhnya dokter telah mendesaknya menjalani aborsi-sebuah pilihan yang ditolaknya dengan tegas.
Tak lama kemudian, kami menjadi ibu bersama-sama, karena aku menjadi ibu pengasuh bagi adik perempuanku itu, Maria Theresia.
Dalam waktu tidak lama, aku belajar mengganti popok, memandikan, dan menyuapinya.
Walau­pun Ibu terus menjalankan perannya sebagai ibu yang di­siplin, bagiku ini sebuah langkah raksasa dibanding hanya bermain boneka.
Ada satu peristiwa yang masih kuingat jelas bahkan sampai hari ini: waktu Maria Theresia, saat itu dua tahun, jatuh sampai lututnya lecet.
Tangisnya meledak, Ibu telah mengu­lurkan tangan, namun Maria langsung berlari ke arahku.
Se­kilas aku melihat kekecewaan terburat pada wajahnya, tetapi yang dikatakannya hanya, “Wajar kalau ia lari menghampiri­mu, karena kau selalu merawatnya dengan baik.” Karena ibuku menerima kondisinya dengan optimisme begitu besar, aku jarang merasa sedih atau geram karenanya.
Akan tetapi, aku tidak akan pernah melupakan hari ketika rasa puas diriku terkoyak.
Lama setelah citra ibuku dengan sepatu tumit tingginya menghilang dari alam sadarku, ada sebuah pesta lagi di rumah kami.
Kala itu aku sudah remaja, dan begitu aku melihat ibuku yang selalu tersenyum duduk di pinggir, menyaksikan teman-temannya berdansa, aku tersentak dengan betapa kejam dan ironisnya keterbatasan fisik yang dialami oleh Ibu.
Tiba-tiba, aku seperti terkirim kembali ke masa lampau, ke masa ketika aku masih kecil, dan ba­yangan temang Ibu yang berdansa dengan kecantikannya yang memesona muncul lagi di depanku.
Waktu itu aku ingin tahu apakah Ibu masih ingat juga.
Dengan spontan, aku menghampirinya, dan kemudian aku melihat bahwa, meskipun wajahnya tersenyum, matanya berlinang air mata.
Aku berlari ke luar dari ruangan itu, ma­suk ke kamarku, menangis sambil membenamkan wajahku ke bantal-menumpahkan air mata yang tak pernah di­tumpahkan oleh Ibu sendiri.
Untuk pertama kalinya, aku marah kepada Tuhan, kepada hidup, atas ketidakadilan yang ditimpakan kepada ibuku.
Kenangan tentang senyuman Ibu yang begitu bersinar ti­dak pernah sirna.
Sejak saat itu, aku mulai memandang ke­mampuannya mengatasi begitu banyak kehilangan yang telah dialaminya dan semangatnya untuk terus menatap ke depan­ yang sebelumnya tidak kuhayati-sebagai sebuah misteri be­sar dan pembangkit inspirasi yang dahsyat.
Ketika aku menjadi dewasa dan masuk ke bidang yang berhubungan dengan Iembaga pemasyarakatan, Ibu menjadi tertarik untuk bekerja bagi para narapidana.
Ia menghubungi lembaga pemasyarakatan tempatku bekerja dan memima izin umuk mengajarkan teknik menulis kreatif kepada para narapidana.
Aku ingat bagaimana mereka berkerumun me­nyambumya setiap kali iadatang dan tampak berusaha mendengarkan setiap kata yang diucapkannya, seperti ketika aku masih kecil.. Bahkan ketika ia tidak dapat lagi pergi ke lembaga pemasyarakatan, ia sering berkirim surat dengan beberapa nara­pidana.
Pada suatu hari, ia memintaku mengirimkan sepucuk su­rat bagi seorang narapidana bernama Waymon.
Aku meminta izin untuk membacanya terlebih dahulu, dan ia setuju, ham­pir tanpa bayangan tentang betapa suratnya akan menjadi seperti sebuah wahyu bagiku.
 Begini bunyi surat itu:
Waymon yang terkasih, Saya ingin Anda tahu bahwa saya terus memikirkan Anda sejak menerima surat Anda.
 Anda bercerita tentang betapa sulit hidup di balik jeruji besi, dan hati saya selalu beserta Anda.
Tapi ketika Anda mengatakan bah­wa saya mustahil membayangkan rasanya dipenjara, saya merasa terdorong untuk menjawab bahwa dugaan Anda salah.
Kebebasan ada bermacam-macam, Waymon.
Begitu pula penjara.
 Kadang-kadang penjara kita tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang.
Pada usia tiga puluh satu tahun, suatu hari saya ter­bangun dan menemukan bahwa saya lumpuh total, saya merasa terperangkap-merasa seolah-olah dipenjara dalam tubuh yang tidak lagi memungkinkan saya berlari me­lintas padang penggembalaan atau berdansa atau meng­gendong anak saya.
Untuk waktu yang lama saya terbaring demikian, berusaha menerima ketidakberdayaan saya, berusaha tidak tenggelam dalam sikap iba diri.
Saya bertanya kepada diri sendiri tentang apa enaknya hidup dalam keadaan demikian, bukankah akan lebih baik bila saya mati?
Saya terus memikirkan keadaan keterpenjaraan ini, karena bagi saya seolah-olah telah kehilangan segala se­suatu yang berarti dalam hidup saya.
Saya hampir putus ­asa.
Akan tetapi kemudian, pada suatu hari datanglah suatu kesadaran dalam diri saya bahwa, sesungguhnya, masih ada beberapa pilihan yang terbuka bagi saya dan bahwa saya mempunyai kebebasan untuk memilihnya.
Haruskah saya tersenyum ketika bertemu anak-anak saya lagi atau haruskah saya menangis?
Haruskah saya me­nyumpahi Tuhan-atau sebaliknya memohon kekuatan tambahan kepada-Nya?
 Dengan kata lain, apa yang akan saya perbuat de­ngan kehendak bebas yang diberi-Nya kepada saya-dan masih ada pada saya?
Saya memutuskan untuk berusaha, selama hayat ma­sih dikandung badan, untuk hidup semampu saya, untuk mencari cara mengubah pengalaman-pengalaman yang tampaknya negatif menjadi pengalaman-pengalaman positif, untuk mencari cara mengubah keterbatasan­-keterbatasan fisik saya dengan memperluas cakrawala mental dan spiritual saya.
 Saya dapat memilih untuk menjadi teladan yang positif bagi anak-anak saya, atau menenggelamkan diri ke ketidakberdayaan dan mati, baik secara emosional maupun fisik.
Ada bermacam-macam kebebasan, Waymon.
Bila kita kehilangan salah satu kebebasan, kita hanya tinggal mencari kebebasan yang lain.
Anda dan saya masih dikaruniai kebebasan memilih buku-buku yang baik, mana yang akan kita baca, mana yang akan kita singkirkan.
Anda dapat memilih melihat ke jeruji, atau melihat lewat jeruji.
Anda dapat menjadi teladan bagi mereka yang lebih muda, atau bergabung dengan para pembuat onar.
Anda dapat memilih mencintai Tuhan dan ber­usaha mengenal-Nya lebih baik, atau berpaling me­munggungi-Nya.
Bagaimanapun, Waymon, kita sama-sama menjalani ke­adaan ini.
Begitu selesai membaca surat untuk Waymon, penglihat­anku menjadi kabur karena air mata. Baru pertama kali itu aku melihat Ibu dengan lebih jelas. Dan aku memahaminya.

Marie Ragghianti

Sumber: Chicken Soup for the Unsinkable Soul
diteruskan dari : ski07-ugm.blogspot dan sinarmotivasi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar